REPUBLIKA.CO.ID, HAMBURG - Kepala asosiasi pertanian Jerman DBV meminta China untuk hanya memberlakukan pembatasan impor terbatas dan bukan larangan impor nasional pada daging babi Jerman. Permintaan ini dilontarkan setelah kasus demam babi Afrika (ASF) ditemukan pada babi hutan di Jerman.
Korea Selatan, konsumen daging babi terbesar kedua di Jerman di luar Uni Eropa, memberlakukan larangan impor daging babi Jerman setelah ASF ditemukan pada babi hutan yang mati, bukan hewan ternak, pada Kamis (10/9).
Produsen daging babi terbesar di Eropa memiliki ekspor utama ke negara-negara Asia lainnya, terutama China yang mengimpor daging babi Jerman senilai 1,2 miliar dolar AS tahun lalu.
Presiden DBV Joachim Rukwied pada Jumat (11/9) mengatakan peternak babi khawatir demam babi akan membuat pasar Asia runtuh.
“Saya berharap pasar China tetap terbuka. Saya berharap mereka akan mengambil tindakan yang sama seperti di Uni Eropa dengan jawaban regionalisasi, di mana hanya daging dari wilayah yang terkena dampak yang tidak dapat diekspor ke tempat lain di UE," kata Rukwied.
Pasar daging babi domestik Jerman tidak cukup untuk sektor peternakan babi yang besar di negara itu. "Kami sangat prihatin, kami takut akan tekanan pasar," katanya.
Menurut Rukwied, Asia penting untuk penjualan bagian-bagian babi seperti telinga dan ekor yang tidak ada pasarnya di Eropa. Pemerintah Jerman juga mendesak larangan impor regional dari masing-masing daerah yang terkena ASF dan tidak menutupi larangan nasional.
ASF tidak berbahaya bagi manusia tetapi berakibat fatal bagi babi. Beberapa negara memberlakukan larangan impor dari daerah di mana ia ditemukan, bahkan pada babi hutan non-pertanian.
Penyakit yang telah melanda produsen daging babi terbesar dunia, China, berasal dari Afrika sebelum menyebar ke Eropa dan Asia. ASF telah membunuh ratusan juta babi sekaligus membentuk kembali pasar daging dan pakan global.
Jerman mengkhawatirkan penyebaran penyakit setelah kasus dikonfirmasi pada babi hutan di Polandia barat dalam beberapa pekan terakhir.