Sabtu 12 Sep 2020 20:35 WIB

Menlu Retno Tegaskan Myanmar adalah Rumah Etnis Rohingya

Retno menekankan perlunya peran negara-negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Pengungsi etnis Rohingya menabur bunga usai pemakaman keluarganya di tempat pemakaman umum Desa Kutablang, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (9/9/2020). Seorang perempuan etnis Rohingya bernama Nur Khalimah (21) yang merupakan bagian dari 296 orang Rohingya yang terdampar di Aceh pada Senin (7/9/2020) dini hari itu meninggal dunia di tempat penampungan BLK Desa Mee Kandang, Selasa (6/9) sekitar pukul 18.45 WIB karena sakit.
Foto: ANTARA/Rahmad
Pengungsi etnis Rohingya menabur bunga usai pemakaman keluarganya di tempat pemakaman umum Desa Kutablang, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (9/9/2020). Seorang perempuan etnis Rohingya bernama Nur Khalimah (21) yang merupakan bagian dari 296 orang Rohingya yang terdampar di Aceh pada Senin (7/9/2020) dini hari itu meninggal dunia di tempat penampungan BLK Desa Mee Kandang, Selasa (6/9) sekitar pukul 18.45 WIB karena sakit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengangkat isu irregular migrant etnis Rohingya di berbagai forum ASEAN Ministerial Meetings (AMM) ke-53 yang dihelat sejak Rabu (9/9). Dia menegaskan bahwa akar masalah tersebut berada di Myanmar.

Retno mengungkapkan dalam dua bulan terakhir Indonesia telah menerima hampir 400 manusia perahu dari etnis Rohingya. Sebanyak 296 di antaranya memasuki Indonesia pada Senin (7/9) lalu. Mereka berasal dari kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh. Setelah terapung di laut selama tujuh bulan, para pengungsi itu akhirnya mendarat di Aceh.

Baca Juga

Di berbagai forum AMM, Retno mengingatkan pentingnya pembagian tanggung jawab untuk mengatasi tantangan tersebut. "Saya kembali mengingatkan akar masalahnya di Myanmar. Myanmar adalah rumah bagi etnis Rohingya. Maka prioritas harus diberikan untuk memastikan repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat ke Myanmar," ucapnya dalam konferensi pers virtual pada Sabtu (12/9).

Mengenai pembagian tanggung jawab, Retno menekankan perlunya peran negara-negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951. Organisasi-organisasi internasional dan LSM yang selama ini fokus pada isu Rohingya juga diharapkan dapat berkontribusi secara nyata mengatasi isu irregular migrants tersebut.

"Keputusan kita menampung sementara irregular migrants ini adalah atas dasar kemanusiaan dan mengatasi situasi darurat mereka. Mereka sudah terapung di laut selama tujuh bulan," kata Retno.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement