REPUBLIKA.CO.ID, ALMUKALLA -- Menteri Luar Negeri Yaman Mohammed Al-Hadrami menegaskan tidak akan menormalkan hubungan diplomatik dengan Israel sampai Palestina mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibu kota. Itu seperti yang digambarkan di bawah Prakarsa Perdamaian Arab yang diusulkan Arab Saudi.
"(Yaman) akan selalu mendukung (rakyat Palestina) sampai mereka mencapai hak-hak mereka yang tidak dapat dicabut," kata Mohammed Al-Hadrami dalam cicitan di akun Twitternya, tak lama setelah Bahrain setuju menandatangani kesepakatan damai dengan Israel, dilansir di Arab News, Ahad (13/9).
Sikap Yaman terhadap persoalan konflik Israel dan Palestina selama ini menunjukkan komitmennya dan keberpihakannya pada Palestina, terutama setelah Israel dan Uni Emirat Arab menormalisasi hubungan diplomatik. Pemerintah Yaman menentang kesepakatan UEA dan Israel untuk menormalisasi hubungan.
Yaman menegaskan akan terus mendukung perjuangan Palestina. "Sebagai Republik Yaman, pendirian kami atas perjuangan Palestina dan hak-hak saudara Palestina adalah sama dan tidak akan berubah," kata al-Hadhrami.
Dia menegaskan rakyat Yaman akan terus membela hak-hak rakyat Palestina. Pemerintahan Houthi, yang tidak diakui oleh komunitas internasional, juga menolak kesepakatan yang dimediasi Amerika Serikat (AS) itu.
Menteri Informasi untuk Houthi, Dhaifullah al-Shami juga menyebutkan, perjanjian Israel-UEA adalah tantangan bagi semua Muslim dan rakyat merdeka di dunia. Menurut dia, pengumuman atas kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik antara UEA dan "Zionis" merupakan sebuah aib.
Sebagai tindak lanjut hubungan, Israel dan UEA selain bekerja sama di beberapa sektor, juga berniat bekerja sama membangun pangkalan intelijen di sebuah pulau di Yaman di wilayah strategis yang menghadap ke Selat Bab Al-Mandad. Rencana itu berdasarkan laporan J Forum yang menggunakan sumber anonim, dilansir di Sputnik News.