Selasa 15 Sep 2020 15:19 WIB

Ada Kepentingan Penjualan Senjata AS di Normalisasi Israel

AS berperan penting dalam normalisasi Israel dengan UEA dan Bahrain

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Para anggota kabinet AS bertepuk tangan usai Presiden Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Bahrain-Israel, Jumat (11/9).
Foto: EPA
Para anggota kabinet AS bertepuk tangan usai Presiden Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Bahrain-Israel, Jumat (11/9).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) telah memainkan peran sentral dalam proses normalisasi diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Dalam waktu kurang dari sebulan, Negara Zionis berhasil menyepakati perjanjian damai dengan dua negara Arab.

AS diketahui merupakan sekutu utama Israel. Sejak Donald Trump memimpin, Washington benar-benar mengakomodasi kepentingan diplomatik Israel. Langkah yang cukup besar adalah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. AS menjadi negara pertama di dunia yang melakukan hal tersebut.

Baca Juga

Belum lama, pemerintahan Trump pun merilis rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk untuk konflik Israel-Palestina. Dalam rencana tersebut, AS mengakui kedaulatan Israel atas sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki. Hal itu tentu memunculkan dua reaksi, dipuji Israel dan dikecam Palestina.

Dalam proses normalisasi dengan UEA dan Bahrain, AS berperan sebagai penengah. Namun pada tahap ini, muncul pertanyaan apakah Washington benar-benar hanya ingin mengakomodasi kepentingan politik dan diplomatik Israel? Apakah Washington tidak memiliki motivasi apa pun?

Beberapa pakar menilai Washington bakal memperoleh keuntungan dari kesepakatan normalisasi Israel dengan UEA dan Bahrain. Salah satunya dalam hal penjualan senjata serta produk militer. Direktur Program Senjata dan Keamanan di Center for International Policy William Hartung mengatakan penjualan senjata merupakan faktor penting dalam kesepakatan tersebut.

Hartung mengungkapkan, UEA telah lama menginginkan jet tempur F-35 dan pesawat nirawak yang lebih besar. Namun AS tak dapat menjualnya kepada Abu Dhabi. Alasannya karena AS berkomitmen mempertahankan keunggulan militer di kawasan. Kendati demikian, Trump sering memuji penjualan senjata dan cenderung memandang UEA sebagai klien lain sebagai hal yang positif.

Hartung mengatakan Bahrain mungkin telah menyetujui normalisasi akses ke persenjataan canggih dan Arab Saudi berpotensi mengikuti. "Bahrain pasti mendapat keuntungan dari transfer AS setelah Trump mencabut penahanan F-16. Jadi mereka mungkin merasa terikat padanya di bagian depan itu," ucapnya mengutip keputusan menjual jet ke Bahrain tanpa persyaratan hak asasi manusia pada 2017, dikutip laman Aljazirah pada Senin (14/9).

Menurut Forum on the Arms Trade (FAT) yang mengutip data US Foreign Military Sales, AS meningkatkan penjualan senjatanya hingga 42 persen secara global pada 2019 atau meningkat hampir 70 miliar dolar AS. Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara mengalami lonjakan penjualan yang signifikan yakni dari 11,8 miliar dolar AS pada 2018 menjadi 25 miliar dolar AS pada 2019.

Maroko menjadi pembeli teratas tahun lalu dengan nilai hampir 12 miliar dolar AS. Negara-negara di Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menyumbang sebagian besar sisanya. UEA menghabiskan lebih dari 4,7 miliar dolar AS untuk memboyong produk militer AS tahun lalu. Bahrain menggelontorkan 3,37 miliar dolar AS, Saudi 2,7 miliar dolar AS, dan Qatar tiga miliar dolar AS.

Dengan adanya normalisasi, nilai penjualan senjata atau produk militer AS diperkirakan akan meningkat. Kendati demikian hingga kini status kesepakatan F-35 dengan UEA masih tetap dipertanyakan. Sebab Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mulai menghadapi kritik dari basis sayap kanannya ketika peruntungan politiknya jatuh.

Di luar hal tersebut, Trump dapat "menjual" keberhasilannya dalam menengahi proses normalisasi Israel dengan UEA dan Bahrain dalam kampanye pilpresnya. Selama kampanye, Trump pun dapat mempromosikan pekerjaan dari program F-35.

Hartung menilai normalisasi juga bisa "memoles program F-35" yang telah menelan biaya triliunan dolar bagi pembayar pajak AS. Program itu telah dikritik karena biaya dan inefisiensi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement