Selasa 15 Sep 2020 16:27 WIB

Bahrain: Normalisasi dengan Israel Lindungi Kepentingan Nega

Bahrain mendukung perjuangan Palestina untuk menjadi negara yang merdeka.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Para anggota kabinet AS bertepuk tangan usai Presiden Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Bahrain-Israel, Jumat (11/9).
Foto: EPA
Para anggota kabinet AS bertepuk tangan usai Presiden Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Bahrain-Israel, Jumat (11/9).

REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Menteri Dalam Negeri Bahrain, Rashid bin Abdullah Al Khalifa mengatakan, normalisasi dengan Israel akan melindungi kepentingan negara. Dia juga mengatakan, kesepakatan normalisasi dapat melindungi entitas Bahrain.

"Kesepakatan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel datang dalam kerangka melindungi kepentingan yang lebih tinggi dari Kerajaan Bahrain, yang berarti melindungi entitas negara," kata situs Kementerian Dalam Negeri mengutip Al Khalifa.

Baca Juga

Al Khalifa mengatakan, Bahrain terus mendukung perjuangan Palestina untuk menjadi negara yang merdeka. Dia menegaskan, normalisasi Bahrain-Israel tidak bertentangan dengan insiatif perdamaian Arab dan keputusan legitimasi internasional.

"Kerajaan Bahrain, sejak awal konflik Palestina-Israel, telah mendukung perjuangan Palestina dan posisi ini masih tidak ambigu, dan deklarasi (normalisasi) ini tidak bertentangan dengan posisi Bahrain atas inisiatif perdamaian Arab dan keputusan legitimasi internasional," ujar Al Khalifa, dilansir Anadolu Agency, Selasa (15/9).

Bahrain mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) yang melakukan normalisasi dengan Israel. Bahrain menjadi negara Arab keempat yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel setelah Mesir pada 1979, Yordania pada 1994, dan UEA pada Agustus tahun ini.

Kesepakatan normalisasi telah menuai kecaman luas dari warga Palestina. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan semacam itu tidak berpihak pada kepentingan Palestina dan mengabaikan hak-hak mereka.

Otoritas Palestina mengatakan setiap kesepakatan dengan Israel harus didasarkan pada Prakarsa Perdamaian Arab tahun 2002 dengan prinsip "tanah untuk perdamaian" dan bukan "perdamaian untuk perdamaian" seperti yang diklaim Israel.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement