Selasa 15 Sep 2020 18:45 WIB

Jabat Tangan Israel, UEA, dan Bahrain di Gedung Putih

Pejabat senior Trump menyebut semua pihak bersemangat ikuti seremoni ini.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Gedung Putih
Foto: EPA/Michael Reynolds
Gedung Putih

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah tiba di Washington, Amerika Serikat (AS) pada Senin (14/9) waktu setempat. AS bakal menjadi tuan rumah dari penandatanganan kesepakatan perdamaian antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.

Acara diagendakan di Halaman Selatan Gedung Putih pada Selasa (15/9) waktu setempat yang dihadiri oleh Netanyahu, dan para menteri luar negeri Bahrain dan UEA. Ini akan menjadi pertama kalinya negara-negara Arab menjalin hubungan dengan Israel sejak Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994.

Baca Juga

"Semua pihak bersemangat," kata seorang pejabat senior pemerintahan Trump kepada wartawan dikutip laman Bangkok Post, Selasa.

Menurut pejabat yang enggan disebutkan jati dirinya itu, ratusan orang diundang untuk hadir. Jabat tangan simbolis antara perwakilan Arab dan Netanyahu pun tidak dikesampingkan meski ada virus Corona yang masih membayangi dunia termasuk paling parah di AS.

"Virus Corona ada di latar belakang pikiran semua orang, meskipun semua orang akan diuji. Jadi jika mereka ingin terlibat dalam segala jenis kontak fisik yang akan dipahami," kata pejabat itu.

Di sisi lain, para pemimpin Palestina mendesak demonstrasi di wilayah pendudukan dan di luar kedutaan besar AS, Israel, Bahrain dan UEA untuk memprotes apa yang mereka sebut sebagai "perjanjian yang memalukan."

Penandatangan ini juga akan memberi Israel dan dua mitra Arab barunya pembukaan ekonomi yang besar, tepat ketika mereka ingin membangun kembali perlambatan ekonomi internasional yang dipicu oleh pandemi virus Corona.

Sementara Trump akan menikmati pilihan untuk memimpin terobosan bersejarah kurang dari 50 hari sebelum hari pemilihan presiden November. Menurut beberapa jajak pendapat, Trump saat ini berada di jalur kekalahan.

New York Times mencatat, bahwa pada dasarnya, perjanjian tersebut bukan merupakan "perdamaian" yang dicanangkan Trump. Mereka tidak mengakhiri keadaan konflik yang sebenarnya tetapi menciptakan hubungan yang dinormalisasi, termasuk perjalanan dan kontak diplomatik antara negara-negara Zionis dan Arab yang tidak pernah berperang satu sama lain. Selama beberapa tahun mereka telah menjadi sekutu de facto, terutama dalam keberpihakan terhadap Iran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement