REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan melakukan upacara perpisahan kepada mantan presiden Lee Teng-hui, pada Sabtu (19/9). Dia meninggal pada 30 Juli 2020 dan rencana akan dimakamkan di pemakaman militer bulan depan.
Pria yang mendapatkan julukan "Bapak Demokrasi" ini merupakan sosok yang mengakhiri pemerintahan otokratis serta mendukung pemilihan umum yang bebas dan memperjuangkan identitas Taiwan yang terpisah dari China. Dia menjadi pemimpin wilayah itu sejak 1988 hingga 2000.
Berbicara pada upacara peringatan di sebuah kapel di universitas Taipei, Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, mengatakan, sosok Lee telah membentuk Taiwan hari ini. "Menghadapi tantangan internasional yang menakutkan, dia dengan terampil memimpin rakyat Taiwan dengan mempromosikan diplomasi pragmatis," ujar Tsai seperti dilansir Reuters, Sabtu (19/9).
Menurut Tsai, Lee membuat Taiwan menjadi identik dengan demokrasi dan terlempar ke panggung dunia. "Karena itu, Presiden Lee dipuji sebagai Bapak Demokrasi. Berkat usahanya, Taiwan sekarang bersinar sebagai mercusuar demokrasi," kata Tsai.
Wakil Menteri Urusan Ekonomi AS, Keith Krach, dan mantan perdana menteri Jepang, Yoshiro Mori, juga menghadiri peringatan pelepasan Lee. Pemimpin spiritual Tibet yang diasingkan, Dalai Lama, mengirim rekaman pesan video untuk teman dekatnya itu.
"Sekarang dia tidak lagi di sini, tapi kami umat Buddha percaya pada kehidupan setelah kehidupan, jadi kemungkinan besar dia akan terlahir kembali di Taiwan," kata Dalai Lama.
Upacara peringatan Lee berlangsung dalam bayang-bayang ancaman perang China, seperti halnya ketika dia sebagai pemimpin demokrasi pertama Taiwan pada 1996. Langkah itu menjadi tindakan pembangkangan terbesarnya karena menjadi presiden Taiwan yang terpilih secara demokratis.
Peristiwa itu membawa China dan Taiwan ke ambang konflik, mendorong Amerika Serikat untuk mengirim gugus tugas kapal induk ke daerah itu sebagai peringatan kepada pemerintah Beijing. China pun terus mendesak, menyatakan Taiwan tetap sebagai wilayah daratan.