REPUBLIKA.CO.ID, MINSK -- Peretas tak dikenal membocorkan data pribadi 1.000 polisi Belarusia. Aksi tersebut dilakukan untuk membalas langkah polisi membubarkan unjuk rasa yang menuntut Presiden Alexander Lukashenko mundur.
"Saat penangkapan terus berlanjut, kami akan terus mempublikasikan data dalam skala yang masif, tidak akan ada yang anonim bahkan dibalik balaclava (topeng motor)," kata para peretas dalam pernyataan yang disebar di saluran Telegram oposisi pemerintah, Nexta Live, Ahad (20/9).
Pemerintah Belarusia mengatakan akan menemukan dan menghukum orang yang bertanggung jawab pembobolan data ini. Data-data tersebut disebar melalui saluran-saluran atau channel Telegram.
"Kekuataan, sarana, dan teknologi yang dimiliki badan-badan internal memungkinkan identifikasi dan mendakwa sebagian besar mereka yang bersalah atas kebocoran data di internet," kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Belarusia Olga Chemodanova.
Loyalitas pasukan keamanan sangat penting bagi Lukashenko agar dapat mempertahankan kekuasaannya di tengah gelombang unjuk rasa yang menuntutnya mundur. Pengunjuk rasa menuduh diktator lama itu mencurangi pemilihan umum.
Demi mencegah gelombang unjuk rasa yang lebih besar lagi pasukan keamanan Belarusia menangkap ratusan orang. Polisi kerap menggunakan masker, balaclava atau helm anti huru-hara. Sejumlah demonstran berhasil merobek penutup wajah petugas keamanan.
Pemerintah mengatakan 390 perempuan ditangkap karena terlibat dalam unjuk rasa menentang Lukashenko. Sebagian besar di antara mereka sudah dibebaskan.
Tindakan keras Lukashenko pada pengunjuk rasa memicu Uni Eropa mengancam akan memberikan sanksi pada pemerintahannya. Pemerintah Belarusia marah dengan laporan kandidat presiden yang menantang Lukashenko dalam pemilihan presiden bulan lalu, Sviatlana Tsikhanouskaya, dapat bertemu dengan menteri-menteri luar negeri Uni Eropa.