REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia dalam laporan ekonomi terbaru menyatakan pandemi Covid-19 telah memukul perekonomian di Asia Timur dan Pasifik sehingga dibutuhkan tindakan cepat agar wabah ini tidak menghambat pertumbuhan dan meningkatkan kemiskinan di tahun-tahun mendatang.
"Covid-19 tidak hanya menyebabkan pukulan terparah bagi masyarakat miskin, tapi juga mengakibatkan munculnya masyarakat miskin baru. Kawasan ini dihadapkan kepada serangkaian tantangan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, dan pemerintah menghadapi pilihan yang sulit," kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa dalam pernyataan di Jakarta, Selasa (29/9).
Ia menjelaskan laporan edisi Oktober 2020 berjudul From Containment to Recovery menyatakan pandemi Covid-19 telah menyebabkan terjadinya tiga guncangan bagi kawasan ini yaitu pandemi itu sendiri, pembatasan terhadap perekonomian, dan gaung resesi global yang diakibatkan oleh krisis yang terjadi. Situasi itu bisa menyebabkan kenaikan angka kemiskinan di kawasan Asia Timur dan Pasifik untuk pertama kalinya dalam 20 tahun dengan perkiraan sekitar 38 juta orang tetap berada atau kembali terdorong ke dalam kemiskinan, berdasarkan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-ke atas sebesar 5,5 dolar AS per hari.
"Akan tetapi, ada beberapa pilihan kebijakan yang cerdas yang dapat menekan parahnya dampak tersebut, seperti misalnya dengan berinvestasi pada kapasitas pengujian dan penelusuran serta memperluas cakupan perlindungan sosial yang meliputi masyarakat miskin dan sektor informal," katanya.
Laporan itu memperingatkan jika tidak diambil tindakan di berbagai bidang, maka pandemi dapat mengurangi pertumbuhan regional selama satu dekade ke depan sebesar satu poin persentase per tahun. Dampak terbesar dirasakan oleh keluarga miskin, karena mereka memiliki lebih sedikit akses kepada fasilitas layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan keuangan.
Selain itu penutupan sekolah akibat Covid-19 dapat menyebabkan hilangnya waktu untuk penyesuaian belajar setara 0,7 tahun bersekolah. Sehingga, rata-rata seorang siswa mungkin menghadapi penurunan nilai penghasilan sebesar empat persen dari yang diharapkan, setiap tahunnya, kelak pada usia produktif.
Peningkatan utang negara dan swasta, seiring dengan menurunnya tingkat neraca perbankan dan meningkatnya ketidakpastian, juga dapat menimbulkan risiko kepada investasi yang dilakukan oleh pihak negara maupun swasta, serta kepada stabilitas perekonomian, pada saat kawasan ini justru membutuhkan keduanya.
Sementara itu, proyeksi defisit fiskal yang membesar di kawasan Asia Timur dan Pasifik ikut menyebabkan peningkatan utang pemerintah pada angka rata-rata tujuh persen dari PDB pada 2020. Sehingga, dibutuhkan reformasi fiskal untuk menggerakkan pendapatan melalui pemungutan pajak secara lebih progresif dan pengurangan pemborosan.
Pada saat yang sama, krisis mempercepat berlangsungnya kecenderungan yang telah ada di sektor perdagangan, termasuk regionalisasi di kawasan Asia Timur dan Pasifik, relokasi beberapa rantai nilai global dari China, dan pertumbuhan yang lebih cepat pada layanan digital. Meski kemudian situasi itu berpotensi meningkatkan kembali tekanan proteksionisme.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo menambahkan banyak negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang telah berhasil mencegah meluasnya penyebaran penyakit dan memberikan stimulus, meski masih harus berjuang untuk pulih dan mencapai pertumbuhan.
"Prioritas saat ini seharusnya mencakup bersekolah dengan aman untuk menjaga modal manusia, memperluas basis pajak yang sempit untuk menghindari pemotongan investasi publik, dan mereformasi sektor-sektor layanan yang dilindungi untuk mendapatkan manfaat dari berbagai peluang digital yang muncul," katanya.