REPUBLIKA.CO.ID, SAN JOSE -- Presiden Kosta Rika, Ahad (4/10), mengatakan dia akan menarik proposal kontroversial menyangkut penghematan, yang bertujuan membantu pemerintah mendapatkan pinjaman besar dari Dana Moneter Internasional (IMF), setelah aksi protes yang tegang berlangsung selama empat hari.
Pemerintah Presiden Carlos Alvarado pada September, mengusulkan serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi negaranya, yang bergantung pada pariwisata, dalam mengatasi krisis akibat wabah virus corona. Serangkaian tindakan itu termasuk menaikkan pajak dan membekukan gaji sektor publik, sebagai bagian dari negosiasi dengan IMF untuk mendapatkan pinjaman 1,75 miliar dolar AS (sekitar Rp 18,3 triliun).
Alvarado, yang partainya beraliran kiri-tengah hanya memiliki suara minoritas di Kongres, mengatakan dia masih berharap mencapai kesepakatan dengan IMF untuk pinjaman tersebut. Namun, katanya, ia tetap akan berkomunikasi dengan berbagai sektor untuk melengkapi kembali rencana pemulihan ekonomi.
"Karena memahami sentimen yang ada dan kebutuhan untuk mengambil tindakan yang layak, pemerintah tidak akan melanjutkan proposal awalnya," ujar Alvarado dalam sambutan yang disiarkan televisi.
Pekan lalu, dia mengatakan kondisi ekonomi Kosta Rika akan mengalami inflasi, pengangguran, suku bunga yang lebih tinggi dan kemungkinan nilai mata uang yang lebih lemah jika pemerintah tidak mendapatkan bantuan IMF. IMF mengatakan pekan lalu bahwa pihaknya telah memulai pembicaraan dengan Kosta Rika, dan memuji upaya pihak berwenang di negara itu untuk melancarkan "dialog politik dan sosial."
Ekonomi Kosta Rika sangat bergantung pada pariwisata serta ekspor peralatan medis. Pandemi Covid-19 telah mendorong pemerintah mengeluarkan lebih banyak uang untuk meredam pukulan ekonomi, dengan defisit anggaran tahun ini tercatat sebesar 9,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).