REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan lagi rahasia, fakta lapisan es kutub mencair karena planet ini semakin hangat. Namun, para ilmuwan memperkirakan efek tersebut mungkin jauh lebih buruk daripada perkiraan semula. Selain dari perubahan iklim, lapisan es juga akan dipengaruhi oleh variabilitas iklim internal, yang tidak dipertimbangkan oleh model prediksi konvensional.
Menurut studi baru, dengan memperhitungkan variabilitas iklim, permukaan laut global mungkin naik 2,7 hingga 4,3 inci pada tahun 2100. Studi tersebut menemukan simulasi model yang tidak memasukkan efek variabilitas iklim internal secara signifikan menunda penyusutan lapisan es hingga 20 tahun dan meremehkan kenaikan permukaan laut di masa depan. Namun, kenaikan permukaan laut hanya akan menambah kerusakan, seperti bencana alam.
"Setiap bit yang menambah gelombang badai, kami memperkirakan akan terjadi badai dan peristiwa cuaca buruk lainnya. Itu bisa menghancurkan," kata Penulis Makalah yang diterbitkan di Climate Dynamics, Chris Forest dilansir di Business Insider, Senin (12/10).
Mayoritas penelitian seputar perubahan iklim menggunakan suhu rata-rata dengan rata-rata hasil model iklim. Proses ini menghaluskan puncak yang disebabkan oleh variabilitas iklim dan mengurangi jumlah rata-rata harian di atas ambang batas suhu. Ini menciptakan bias.
"Jika kami hanya berturut-turut dengan kondisi rata-rata, kami tidak melihat ekstrem ini (variabilitas iklim) terjadi pada rentang waktu tahunan atau dekade,” jelas dia.
Ketika seseorang memasukkan variabilitas, hasilnya mengakomodasi hari-har iyang lebih hangat dan lebih banyak sinar matahari. Saat itu, es akan terus mencair dengan suhu di atas rata-rata. Para ilmuwan juga menemukan sementara variasi atmosfer memiliki dampak yang lebih besar dan lebih langsung pada lapisan es. Sedangkan variabilitas laut juga merupakan faktor yang signifikan.
"Penting untuk lebih memahami proses yang berkontribusi pada hilangnya es karena lapisan es mencair lebih cepat dari yang kami perkirakan,” ucap dia.