REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Organisasi Hizbullah dan sekutunya Amal mengkritik delegasi Lebanon yang bernegosiasi dengan Israel atas sengketa di perbatasan laut kedua negara. Sebelum pertemuan pertama digelar, kedua organisasi muslim Syiah itu meminta anggota tim diubah.
Secara teknis Lebanon dan Israel masih berperang setelah konflik berakhir berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kedua negara sepakat menggelar perundingan yang ditengahi oleh Amerika Serikat (AS) mengenai perbatasan maritim yang berpotensi kaya gas di perairan Mediterania.
Perundingan itu digelar setelah langkah diplomasi yang dilakukan Washington serta beberapa pekan setelah sanksi Hizbullah yang didukung Iran ditingkatkan. Sanksi yang berdampak besar saat Lebanon masih didera krisis ekonomi.
Dalam pernyatannya yang dirilis Selasa (13/10) malam lalu Hizbullah dan Amal mengatakan anggota tim negosiasi harusnya hanya berisi perwira militer. Tanpa melibatkan politisi atau rakyat sipil.
"Dengan dua tuntutan segera menarik kembali keputusan ini dan membentuk ulang tim delegasi sesuai kerangka kerja yang sudah disepakati," kata mereka.
Belum ada komentar dari kantor Presiden Michel Auon yang bersekutu dengan Hizbullah dan bertanggung jawab membentuk tim delegasi tersebut. Pada Selasa lalu, kantor kepresidenan mengatakan negosiasi hanya membahas masalah teknis.
Hizbullah mengatakan perundingan itu bukan tanda akan adanya perdamaian dengan Israel yang sudah lama menjadi musuh mereka. Kedua belah pihak berperang selama berbulan-bulan pada tahun 2006 lalu.
Pasukan Perdamaian PBB menjadi tuan rumah pertemuan Rabu ini. Mereka memantau perbatasan yang disengketakan itu sejak Israel mundur dari Lebanon selatan pada tahun 2000, mengakhiri pendudukan selama 22 tahun.