Senin 26 Oct 2020 22:56 WIB

Kritik Islam, Macron Dinilai Hanya Pikirkan Jangka Pendek

Macron dinilai hanya memikirkan jangka pendek seperti memenangkan pemilu.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: EPA-EFE/LUDOVIC MARIN
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia Islam mengecam kritik Presiden Prancis Emmanuel Macron terhadap Islam. Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) Teuku Rezasyah mengatakan, kritik itu menunjukkan Macron hanya memikirkan jangka pendek seperti memenangkan pemilu.

"Saya tidak mengerti, Prancis memiliki pemahaman studi wilayah yang luar biasa, mereka pernah menjajah sampai ke Pasifik Selatan, Timur Tengah, Afrika karena penguasaan studi wilayah yang luar biasa, kok Macron tidak belajar dari sana," kata Teuku, Senin (26/10).

Baca Juga

Teuku mengatakan, tampaknya Macron tidak sadar masalah multirasial di Prancis hari ini diawali oleh kolonialisme negara itu di masa lalu. Masyarakat minoritas di Prancis saat ini berasal dari negara-negara jajahan Prancis.  

"Walaupun mereka pindah ke wilayah Anglo-Saxon pun belum tentu cocok, jadi berbekal sisa pemahaman masa lalu dan beratnya hidup masa penjajahan Prancis mereka berpikir untuk meraih masa depan ya harus hidup di Prancis lagi," kata Teuku.

Menurut Teuku, presiden Prancis tidak memahami masalah hubungan lintas budaya atau peradaban. Teuku mengatakan Macron tidak adil karena ia hanya mengkritik Islam tidak mengkritik agama-agama lain.

Menurut dosen Universitas Padjajaran itu bila Macron memang menekankan pentingnya kehidupan multikultural yang adil. Maka presiden Prancis itu juga mengkritik agama-agama yang lain.

"Mungkin ada ketakutan, tingkat pertumbuhan penduduk Islam memang luar biasa, dan bila berada di tingkat yang sama maka pada tahun 2075 masyarakat Islam dapat menjadi mayoritas di Prancis," kata Teuku.

Selain harus diakui, kata Teuku, para imigran Muslim biasanya bekerja sangat keras. Sebab ketika mereka meninggal tempat asalnya mereka bertekad meningkatkan status sosial atau taraf hidup ke jenjang yang lebih baik.

"Wajar Macron khawatir pelan-pelan wajah Eropa akan menjadi Islam, tapi biar bagaimanapun dia harus menghargai proses nilai tambah yang sesuai dengan hukum-hukum demokrasi Prancis," tambah Teuku.

Menurut Teuku, Macron harusnya belajar dari Wali Kota London Sadiq Khan. Seorang Muslim generasi kedua yang pola pikirnya progresif dan mengutamakan budaya Inggris.

Bagi Teuku, Indonesia tidak perlu mengomentari Macron. Sebab boikot yang kini banyak diserukan masyarakat Arab tidak akan menguntungkan siapa pun. Ia mengatakan hubungan Indonesia-Prancis itu untuk jangka panjang dan berlapis-lapis.

Pada awal September lalu Macron berjanji akan memerangi separatis Islam yang tidak bisa meresap dalam kebudayaan Prancis. Ia juga mengatakan Islam di seluruh dunia 'sedang dalam krisis' dan pada bulan Desember mendatang pemerintahnya akan meloloskan undang-undang untuk memperkuat undang-undang yang memisahkan gereja dan negara pada 1905.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement