REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kedutaan Besar (Kedubes) Prancis di Indonesia menegaskan posisi Prancis adalah melindungi kebebasan fundamental dan menolak kebencian. Hal itu dinyatakan menyusul komentar para pengguna internet terhadap perkembangan berita di Prancis soal penghinaan terhadap Islam.
Kecaman berbagai negara terhadap presiden Prancis Emmanuel Macron terus berdatangan. Komentar Presiden keluar saat upacara untuk mengenang seorang guru Prancis yang dipenggal kepalanya di Conflans Sainte-Honorine pada 16 Oktober 2020 lalu.
Menurut Kedutaan Besar Prancis, sejumlah komentar yang ditulis di jejaring sosial melencengkan posisi yang dipertahankan oleh Prancis demi kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan penolakan ajakan kebencian. Komentar-komentar tersebut menjadikan pernyataan yang dibuat oleh Presiden Republik pada acara penghormatan nasional kepada Samuel Paty sebagai alat untuk tujuan politik.
"Padahal pernyataan itu bertujuan mengajak untuk melawan Islamisme radikal (radikalisme) dan perlawanan tersebut dilakukan bersama-sama dengan umat Muslim Prancis, yang merupakan bagian integral dari masyarakat, sejarah, dan Republik Prancis," tulis pernyataan resmi Kedutaan Besar Prancis melalui laman resmi di Facebook, Selasa (27/10).
Dalam strategi melawan separatisme yang dikemukakan oleh Presiden Macron itulah, yang menjadi sasaran hanya Islamisme radikal. Semua negara demokrasi, terutama Prancis dan Indonesia, sedang memerangi Islamisme radikal yang menjadi penyebab serangan teroris di wilayah mereka.
"Presiden Emmanuel Macron menyatakan dengan jelas tidak ada maksud sama sekali untuk menggeneralisir dan secara tegas membedakan antara mayoritas warga Muslim Prancis dengan minoritas militan, separatis yang memusuhi nilai-nilai Republik Prancis," tulis pernyataan itu.
Dewan Peribadatan Muslim Prancis (CFCM), yang merupakan instansi resmi perwakilan umat Islam di Prancis dan menjadi mitra utama pemerintah, menyatakan pembunuhan keji tersebut mengingatkan pada bencana yang sayangnya menandai realitas yang tengah dihadapi. Realitas itu yakni merebaknya radikalisme, kekerasan, dan terorisme yang mengaku-aku atas nama Islam di negara Prancis sehingga menimbulkan korban dari kalangan berbagai usia, berbagai kondisi, dan berbagai keyakinan.
"Kemudian, nilai-nilai yang mendasari Republik sekuler, tak terpecah-belah, demokratis dan sosial kita, dengan motto tritunggalnya, 'Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan' ini memungkinkan kita, Muslim Prancis, seperti halnya semua warga negara Prancis lainnya, untuk menjalankan ibadah dengan bebas atau untuk tidak menjalankan ibadah apa pun, untuk membangun masjid dan menikmati hak-hak kita sepenuhnya," tulis CFCM.
"Sebagai kesimpulan, CFCM mengatakan: Tidak! Kami kaum Muslim tidak dianiaya di Prancis. Kami adalah warga negara penuh di negara kami. Seperti semua warga negara kami lainnya, kami memiliki hak yang dijamin dan kewajiban untuk dijalankan," ujar pernyataan CFCM menambahkan.