Rabu 11 Nov 2020 16:23 WIB

15 Ribu Cerpelai di AS Mati Akibat Virus Corona

Pemerintah AS belum mempertimbangkan opsi untuk melakukan pemusnahan cerpelai

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Hewan Cerpelai
Foto: istimewa/wikipedia
Hewan Cerpelai

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lebih dari 15 ribu cerpelai di Amerika Serikat (AS) telah mati akibat virus corona sejak Agustus. Otoritas berwenang tengah mengawasi belasan peternakan hewan tersebut di bawah karantina sambil menyelidiki kasus kematian.

Kasus kematian cerpelai akibat virus corona di AS ditemukan di negara bagian Utah, Wisconsin, dan Michigan. Sejauh ini pemerintah belum mempertimbangkan opsi untuk melakukan pemusnahan terhadap hewan itu.

Baca Juga

"Kami yakin bahwa mengarantina peternakan cerpelai yang terkena dampak selain menerapkan tindakan keamanan hayati yang ketat akan berhasil mengendalikan SARS Cov-2 di lokasi-lokasi ini," kata Departemen Pertanian AS dalam sebuah keterangan kepada Reuters pada Selasa (10/11).

Menurut Departemen Pertanian AS, cerpelai di Wisconsin dan Utah diperkirakan terjangkit virus corona karena terinfeksi dari manusia. Sementara di Michigan, belum diketahui apakah cerpelai di sana tertular dari manusia atau terdapat faktor lain yang menyebabkan mereka mengidap virus.

Departemen Pertanian AS mengatakan tengah bekerja serta berkoordinasi dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) untuk menangani masalah tersebut. CDC mendukung penyelidikan.

"Penyelidikan ini akan membantu kami mempelajari lebih lanjut tentang dinamika penularan antara cerpelai, hewan lain di sekitar peternakan dan manusia. Saat ini, tidak ada bukti bahwa hewan memainkan peran penting dalam penyebaran SARS-CoV-2 ke manusia," kata CDC.

Dokter hewan di Negara Bagian Utah, Dean Taylor, mengungkapkan sekitar 10.700 cerpelai di wilayah tersebut telah mati akibat virus corona. Mereka tersebar di sembilan peternakan. “Pada kesembilan peternakan, semuanya masih mengindikasikan perjalanan satu arah dari orang ke cerpelai," kata Taylor mengacu pada proses penularan virus.

Menurut dia, pengujian virus corona telah dilakukan pada cerpelai yang mati. Tes dilakukan secara acak di peternakan terdampak. Taylor mengungkapkan, seperti halnya manusia, beberapa cerpelai tidak bergejala atau terpengaruh ringan.

Dokter Hewan Negara Bagian Wisconsin Darlene Konkle mengungkapkan sekitar 5.000 cerpelai telah mati di dua peternakan di wilayah itu. Michigan menolak untuk mengungkapkan berapa banyak cerpelai yang telah mati dengan alasan aturan privasi.

Otoritas AS mendesak petani untuk memakai alat pelindung seperti masker dan sarung tangan saat menangani cerpelai guna menghindari penularan pada hewan. Pejabat dari negara bagian terkait mengatakan mereka sedang bekerja dengan Departemen Pertanian AS untuk menentukan apakah petani dapat menjual bulu-bulu cerpelai yang telah terinfeksi. Kulitnya digunakan untuk membuat mantel bulu dan barang lainnya.

Awal bulan ini,  Denmark mengumumkan rencana untuk membunuh 17 juta cerpelai peternakan. Hal itu karena ditemukannya mutasi virus korona pada hewan tersebut dan menyebar ke manusia. "Kami memiliki tanggung jawab besar terhadap populasi kami sendiri, tetapi dengan mutasi yang sekarang telah ditemukan, kami memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk seluruh dunia juga," kata Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen dalam konferensi pers pada 4 November lalu.

Frederiksen mengatakan mutasi dapat menurunkan efektivitas vaksin di masa depan. Oleh sebab itu pemusnahan 17 juta cerpelai akan segera dilakukan dengan melibatkan angkatan bersenjata. Denmark adalah penghasil bulu cerpelai terbesar di dunia.

Denmark telah melaporkan penemuan tersebut pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa. "Kami telah diberi tahu oleh Denmark tentang sejumlah orang yang terinfeksi virus korona dari cerpelai, dengan beberapa perubahan genetik pada virus. Pihak berwenang Denmark sedang menyelidiki signifikansi epidemiologis dan virologi dari temuan ini," kata WHO dalam keterangannya kepada Reuters. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement