REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD - Pada 16 November 1988, Benazir Bhutto terpilih sebagai perdana menteri (PM) Paskitan perempuan pertama. Ini menjadi sejarah modern pertama di mana perempuan memimpin negara Muslim.
Dia menjabat perdana menteri dari 1988 hingga 1990, kemudian dilanjutkan kembali dari 1993 hingga 1996. Dilansir laman Guardian, dalam sejarahnya Benazir Bhutto lahir di dinasti politik Pakistan yang kaya raya. Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto, mendirikan Pakistan People's Party (PPP) yang berhaluan kiri dan menjabat sebagai perdana menteri dari 1973 hingga 1977.
Ali kemudian digulingkan dalam kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq. Dia dihukum gantung karena diduga bersekongkol untuk membunuh lawan politik.
Setelah kematian ayahnya, Benazir Bhutto sering kali dipenjara atau dijadikan tahanan rumah oleh Presiden Zia selama enam tahun berikutnya. Dia melarikan diri ke London pada 1984. Di pengasingan, Bhutto tetap memegang kendali PPP.
Dia kembali ke Pakistan pada April 1986 untuk menantang otoritas Zia. Pada Agustus 1988, Zia tewas dalam kecelakaan pesawat misterius, yang memungkinkan Pakistan mengadakan pemilihan umum bebas pertamanya sejak Zia merebut kekuasaan.
Bhutto kemudian mengerahkan PPP untuk pemilihan. Bhutto yang baru berusia 35 tahun kembali ke tanah air untuk memimpin PPP meraih kemenangan dalam pemilu.
Di seluruh dunia, Bhutto dianggap muda, karismatik, moderat, dan salah satu pemimpin wanita pertama yang terpilih secara demokratis di negara Muslim besar. Bahasa Inggrisnya yang sempurna, kecantikannya yang tidak diragukan lagi, dan pesonanya juga membangkitkan auranya. People Magazine memasukkannya ke dalam daftar 50 orang tercantik di dunia.
Namun perayaan kemenangan PPP berumur pendek. Lawan politik menganggapnya tidak berpengalaman. Dalam dua tahun, pemerintahan Bhutto dibubarkan di tengah tuduhan korupsi dan ketidakmampuan.
Tiga tahun kemudian, PPP Bhutto kembali berkuasa, dengan oposisi yang sama, manipulasi yang sama, dan hasil yang sama. Pada 1996, presiden saat itu sekali lagi membubarkan pemerintahannya, lagi-lagi dengan tuduhan korupsi dan ketidakmampuan yang besar.
Bhutto kemudian menghadapi banyak tuduhan setelah ia menjabat pada 1996. Semakin terisolasi, dia meninggalkan Pakistan pada 1999 untuk tinggal di Dubai dan London. Selama bertahun-tahun di luar Pakistan, Bhutto tinggal bersama ketiga anaknya dan suaminya di Dubai.
Laman History menuliskan bahwa Bhutto terus memimpin partainya dari luar negeri, kemudian dikukuhkan kembali sebagai pemimpin PPP pada 2002. Bhutto kembali ke Pakistan pada 18 Oktober 2007 setelah Presiden Musharraf memberikan amnesti atas semua tuduhan korupsi sehingga membuka jalan untuk kembali dan kemungkinan perjanjian pembagian kekuasaan.
Unjuk rasa kepulangan Bhutto setelah delapan tahun di pengasingan dilanda serangan bunuh diri yang menewaskan 136 orang. Dia kemudian ditempatkan dalam tahanan rumah pada 9 November. Bhutto meminta pengunduran dirinya empat hari kemudian.
Bhutto terbunuh ketika seorang penyerang melepaskan tembakan dan kemudian meledakkan dirinya setelah kampanye pemilihan umum di Rawalpindi pada 27 Desember 2007. Serangan itu juga menewaskan 28 orang lainnya dan melukai sedikitnya 100 lainnya.
Pelaku menyerang hanya beberapa menit setelah Bhutto berpidato di depan demonstrasi ribuan pendukung di kota garnisun Rawalpindi, delapan mil selatan Islamabad. Dia meninggal setelah kepalanya terbentur bagian atap kendaraannya, bukan karena peluru atau pecahan peluru.
Presiden Pakistan Pervez Musharraf mengumumkan tiga hari berkabung. Suami Bhutto, Asif Ali Zardari, ketiga anaknya dan saudara perempuannya Sanam menghadiri pemakaman tersebut. Bhutto dimakamkan bersama ayahnya Zulfikar Ali Bhutto, perdana menteri pertama yang dipilih secara populer di Pakistan yang kemudian dieksekusi dengan digantung.