Ahad 22 Nov 2020 10:30 WIB

Menlu Arab Saudi Yakin Biden akan Kejar Stabilitas Regional

Di sela KTT G20 Menlu Arab Saudi ungkapkan keyakinannya soal pemerintahan Biden

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden.
Foto: EPA-EFE/Robert Deutsch
Presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH - Pemerintahan Demokrat Joe Biden yang akan datang diyakini akan mengejar kebijakan yang membantu stabilitas regional dan kerja sama yang kuat. Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud pada Sabtu.

Riyadh bersiap menyambut presiden baru AS yang berjanji pada saat kampanye pemilihan untuk menilai kembali hubungan dengan Arab Saudi. "Saya yakin pemerintahan Biden akan terus mengejar kebijakan demi kepentingan stabilitas kawasan," kata Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud kepada Reuters dalam wawancara virtual di sela-sela KTT Pemimpin G20, yang diselenggarakan Arab Saudi

Baca Juga

"Setiap diskusi yang kami lakukan dengan pemerintahan di masa depan akan mengarah pada kerja sama yang kuat," imbuhnya.

Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menikmati hubungan pribadi yang dekat dengan Presiden Donald Trump. Hubungan mereka memberikan penyangga terhadap kritik internasional atas catatan hak asasi Riyadh menyusul pembunuhan jurnalis Saudi dan penduduk AS Jamal Khashoggi, peran Riyadh dalam perang Yaman, dan penahanan hak-hak aktivis perempuan.

Area-area itu sekarang mungkin menjadi titik gesekan antara Biden dan Arab Saudi, eksportir minyak utama dan pembeli senjata AS. Pangeran Faisal menekankan sejarah 75 tahun "kerja sama pertahanan yang kuat" antara kedua negara dan berharap itu akan berlanjut.

Dia mengatakan akan "sepenuhnya tepat" bagi Amerika Serikat untuk menunjuk gerakan Houthi yang berpihak pada Iran di Yaman sebagai organisasi teroris asing. "Kita semua tahu banyak tentang senjata mereka dan sebagian besar ideologi mereka berasal dari Iran. Jadi mereka jelas merupakan organisasi teroris yang didukung asing," katanya.

Washington melihat kelompok itu sebagai perpanjangan dari pengaruh Iran di wilayah tersebut. Pemerintahan Trump telah mengancam untuk memasukkan kelompok itu ke daftar hitam, kata sumber kepada Reuters.

Hal itu dilakukan sebagai bagian dari kampanye "tekanan maksimum" terhadap Teheran. Iran membantah memberikan dukungan finansial dan militer kepada Houthi.

Arab Saudi melobi keras untuk kampanye melawan saingannya Iran. Selain itu yang menjadi masalah adalah bagaimana Biden akan menangani rudal balistik Teheran dan dukungan untuk proksi regional dalam setiap pembicaraan untuk menghidupkan kembali pakta nuklir internasional dengan Iran yang dihentikan Trump pada 2018.

Pangeran Faisal juga mengatakan kerajaan menikmati hubungan yang "baik dan bersahabat" dengan Turki, yang telah berselisih dengan kerajaan selama beberapa tahun karena kebijakan luar negeri dan sikap terhadap kelompok politik Islam. Pembunuhan Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul meningkatkan ketegangan secara tajam.

Selama lebih dari setahun, beberapa pedagang Saudi dan Turki berspekulasi Arab Saudi sedang memberlakukan boikot tidak resmi atas impor dari Turki. Menteri mengatakan dia belum melihat angka yang akan mendukung adanya boikot.

Mengomentari keretakan antara negara-negara Teluk dengan Qatar, Pangeran Faisal mengatakan Riyadh sedang mencari cara untuk mengakhiri perselisihan dengan Qatar. Sengketa tersebut terjadi sejak 2017 ketika Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Bahrain, dan Mesir memberlakukan boikot terhadap Qatar, memutuskan hubungan diplomatik dan transportasi, serta menuduhnya mendukung terorisme. Qatar membantah tuduhan mendukung terorisme.

Menjelang G20, kelompok hak asasi manusia terkemuka dan keluarga aktivis yang dipenjara meminta G20 untuk memboikot KTT tersebut atas catatan hak asasi Riyadh.

Ditanya apakah Arab Saudi sedang mempertimbangkan grasi bagi aktivis hak-hak perempuan yang ditahan, prospek yang awalnya diajukan oleh duta besar Saudi untuk Inggris dan kemudian mundur, Pangeran Faisal mengatakan grasi adalah "bukan masalah", mengingat para perempuan itu masih diadili.

Para tahanan tersebut dituduh merugikan kepentingan Saudi. Beberapa tuduhan telah diumumkan tetapi beberapa terkait dengan kontak dengan jurnalis asing, diplomat, dan kelompok hak asasi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement