REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT — Presiden Lebanon Michel Aoun mengatakan dia ingin pembicaraan perbatasan laut dengan Israel berhasil. Aoun berharap perselisihan dalam putaran akhir negosiasi dapat diselesaikan berdasarkan hukum internasional.
Hal itu disampaikan Aoun selama melakukan pertemuan dengan mediator Amerika Serikat (AS) untuk negosiasi perbatasan maritim Israel-Lebanon John Desrocher di Beirut pada Rabu (2/12). “(Pembicaraan) ini akan memperkuat stabilitas di selatan dan memungkinkan kita untuk berinvestasi dalam sumber daya alam minyak serta gas,” kata kantor Aoun dalam sebuah pernyataan.
Aoun menyebut hambatan dan kesulitan yang mengemuka selama putaran terakhir negosiasi dapat diselesaikan melalui diskusi berdasarkan Undang-Undang Laut. Dia menyebut jika pembicaraan terhenti, maka alternatif dapat diajukan. Terkait hal itu, Aoun tak memberi penjelasan lebih lanjut. Perwakilan Israel dan Lebanon sebenarnya dijadwalkan melanjutkan perundingan putaran keempat pada Rabu, tapi ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Dalam sebuah wawancara dengan Radio Angkatan Darat Israel pekan lalu, Menteri Energi Israel Yuval Steinitz mengatakan Lebanon memprovokasikan posisi yang memprovokasi. Namun, dia menyebut bahwa semua negosiasi dimulai dengan “tuntutan dan provokasi yang berlebihan”. “Saya berharap dalam beberapa bulan kita bisa mencapai terobosan baru,” ujarnya.
Putaran terakhir negosiasi perbatasan Israel-Lebanon diselenggarakan PBB di pos perbatasan kedua negara pada November lalu. Perundingan itu merupakan pembicaraan non-keamanan pertama yang diadakan kedua belah pihak. Israel dan Lebanon diketahui tak memiliki hubungan diplomatik. Keduanya secara teknis berada dalam keadaan perang setelah konflik selama beberapa dekade.
Israel dan Lebanon masing-masing mengklaim sekitar 860 kilometer persegi dari Laut Mediterania. Selama putaran kedua perundingan, delegasi Lebanon, yang terdiri dari perwira dan pakar militer, menawarkan peta baru. Wilayahnya dapat diperluas 1.430 kilometer persegi.