REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden tidak akan segera membatalkan perjanjian perdagangan Tahap 1 yang Donald Trump sepakati dengan China. Ia juga tidak akan segera mencabut tarif terhadap ekspor China.
Hal itu diungkapkan dalam wawancaranya dengan surat kabar AS New York Times, Rabu (2/12). Pada kolumnis Thomas Friedman, Biden mengatakan prioritasnya saat ini meloloskan paket bantuan virus corona di Kongres, walaupun ia belum dilantik.
Pada pekan ini kantor berita Reuters melaporkan Trump ingin mempersulit Biden dengan memperkeras sikap ke China. Selama empat tahun terakhir sikap anti-China Trump yang didukung Kongres kerap membuat pasar finansial goyah.
"Saya tidak akan membuat langkah cepat, dan hal itu juga berlaku dengan tarif, tidak ingin membuat prasangka pada pilihan saya," kata Biden pada Friedman di New York Times.
Biden mengatakan akan menetapkan kebijakan yang mengincar 'praktik penyahgunaan' China, seperti 'pencurian hak intelektual, subsidi ilegal ke perusahaan swasta' dan memaksa perusahaan AS 'menyerahkan teknologi' ke perusahaan China. Namun ia juga menekankan perlunya membangun konsensus bipartisan di dalam negeri dan pemerintah yang mendorong investasi pada penelitian, pengembangan, infrastruktur dan pendidikan. Sehingga, perusahaan AS dapat berkompetisi dengan lebih baik dengan saingannya dari China.
"Saya ingin memastikan kami akan bertarung mati-matian dengan berinvestasi di Amerika terlebih dahulu," kata Biden.
"Strategi terbaik China, saya pikir, adalah sesuatu yang membuat kami, atau setidaknya dulu, sekutu dengan visi yang sama," ujarnya.
Dalam Perjanjian perdagangan Tahap 1 yang ditandatangani tahun ini membuat China sepakat pada 2020 dan 2021 membeli produk dan jasa Amerika sebesar 200 miliar dolar AS. Kesepakatan itu meninggalkan kenaikan tarif 25 persen terhadap produk industri China yang digunakan pabrik-pabrik AS senilai 250 miliar dolar AS. China membalasnya dengan memberlakukan tarif untuk barang-barang AS senilai 100 miliar dolar AS.