REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memerintahkan penarikan pasukan negaranya yang berada di Somalia. Sebelumnya Trump memberi instruksi pengurangan pasukan AS di Irak dan Afghanistan.
Pentagon dalam sebuah pernyataan mengatakan sejumlah pasukan yang belum ditentukan di Somalia akan dipindahkan ke negara-negara tetangga. Hal itu memungkinkan mereka melakukan operasi lintas batas. Sementara yang lainnya akan direlokasi ke luar Afrika Timur.
"Sementara perubahan dalam postur kekuatan, tindakan ini bukanlah perubahan dalam kebijakan AS. AS akan mempertahankan kemampuan untuk melakukan operasi kontraterorisme yang ditargetkan di Somalia dan mengumpulkan peringatan dini serta indikator terkait ancaman terhadap tanah air," kata Pentagon pada Jumat (4/12).
Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan hampir semua pasukan AS akan meninggalkan Somalia. Namun beberapa di antaranya akan tetap berada di ibu kota Mogadishu. Proses penarikan harus diselesaikan pada 15 Januari, tenggat waktu yang sama untuk pemulangan pasukan AS di Afghanistan dan Irak.
Awal tahun ini, AS telah menarik pasukannya dari kota Bossaso dan Galkayo. Hingga bulan lalu, personel militer AS masih berada di kota pelabuhan selatan Kismayo, pangkalan udara Baledolge d wilayah Shabelle, dan Mogadishu.
Presiden Somalia Mohamed Abdullahi Mohamed mengisyaratkan menentang penarikan pasukan AS dari negaranya. Pada Oktober lalu, dia secara terbuka menulis melalui akun Twitter pribadinya bahwa dukungan AS telah memungkinkan negaranya secara efektif memerangi kelompok teroris Al-Shabab dan mengamankan Tanduk Afrika.
“Kemenangan melalui perjalanan ini dan kemitraan Somalia-AS hanya dapat diraih melalui kemitraan keamanan berkelanjutan dan dukungan pengembangan kapasitas,” tulisnya.
AS memiliki sekitar 700 tentara di Somalia. Misi mereka fokus membantu pasukan lokal Somalia menumpas pemberontakan Al-Shabab. Selama lebih dari satu dekade Al-Shabab rutin melakukan serangan bersenjata, termasuk bom, yang menyasar personel militer dan warga sipil. Mereka menghendaki peraturan syariat Islam yang ketat ditegakkan di negara tersebut.