REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menolak membeli jutaan dosis tambahan vaksin Covid-19 yang dikembangkan Pfizer. Vaksin tersebut tampaknya akan menjadi yang pertama kali disetujui untuk digunakan di sana.
Moncef Slaoui adalah pejabat AS yang bertanggung jawab atas program pengembangan vaksin pemerintah, yakni Operation Warp Speed. Dia membela keputusan untuk tidak membeli lebih banyak dosis vaksin Pfizer. Dalam sebuah wawancara dengan ABC pada Selasa (8/12), dia mengungkapkan pemerintah masih memantau beberapa vaksin berbeda selama musim panas.
“Tidak ada orang yang secara masuk akal akan membeli lebih banyak dari salah satu vaksin tersebut karena kami tidak tahu mana yang akan berhasil dan mana yang lebih baik dari yang lain,” kata Slaoui dikutip laman the Guardian, Rabu (9/12).
Pemerintahan Trump sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan Pfizer untuk membeli 100 juta dosis vaksin Covid-19. Anggota dewan Pfizer Scott Gottlieb mengonfirmasi bahwa pemerintah menolak tawaran untuk memesan dosis tambahan.
“Pfizer memang menawarkan jatah tambahan dari rencana itu, pada dasarnya jatah kuartal kedua, kepada pemerintah AS beberapa kali dan baru-baru ini setelah data sementara keluar dan kami tahu vaksin ini tampaknya efektif,” kata Gottlieb kepada CNBC.
Dia berpendapat Pemerintah AS berpikir akan ada lebih dari satu vaksin yang akan memperoleh otorisasi dan lebih banyak vaksin beredar di pasaran. "Mungkin itu sebabnya mereka tidak mengambil perjanjian opsi 100 juta (dosis) tambahan," ujarnya.
Menurut laporan New York Times, dengan adanya permintaan global terhadap vaksinnya, Pfizer yang berbasis di New York tidak dapat menjamin dosis tambahan bagi AS sebelum Juni 2021. Inggris baru-baru ini telah memberi persetujuan darurat untuk vaksin Pfizer.
Selain Pfizer, Pemerintah AS juga membuat kontrak pembelian 100 juta dosis vaksin yang dikembangkan Moderna. Baik vaksin Pfizer maupun Moderna membutuhkan dua dosis per pasien.
Sejauh ini AS telah melaporkan lebih dari 15,5 juta kasus Covid-19 dengan korban meninggal melampaui 293 ribu jiwa. AS masih menempati posisi pertama sebagai negara dengan kasus virus corona tertinggi di dunia.