REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sanksi Amerika Serikat (AS) yang diumumkan awal minggu ini adalah "serangan terang-terangan" terhadap kedaulatan Turki, kata presiden Turki pada Rabu (16/12).
Turki adalah anggota NATO pertama yang menghadapi sanksi semacam itu, kata Presiden Recep Tayyip Erdogan pada upacara peresmian sebuah jalan raya. Dia juga menyoroti standar ganda AS dalam memberikan sanksi semacam itu kepada Turki.
Sanksi tersebut bertujuan untuk membuat industri pertahanan Turki terus bergantung, meski begitu Turki bertekad untuk mengembangkan industrinya agar lebih maju, tambah Erdogan. Turki tidak akan terhalang tetapi akan bekerja dua kali lebih keras untuk meningkatkan kinerja sektor pertahanan dan membuatnya benar-benar independen, tekan dia.
"Ancaman sanksi Uni Eropa menjadi agenda kami selama beberapa pekan terakhir dan kemarin sanksi AS, yang sempat menjadi agenda beberapa waktu, telah diumumkan. Cukup jelas, mengenai CAATSA, tak ada negara lain selain Turki yang terkena sanksi ini," tutur dia.
"Untuk pertama kalinya, sanksi dijatuhkan pada negara kami, anggota NATO. Aliansi macam apa ini? Keputusan ini adalah serangan terang-terangan terhadap hak kedaulatan negara kami," imbuh Erdogan.
Presiden Turki melanjutkan dengan mengatakan bahwa sanksi terkait pembelian sistem pertahanan S-400 Rusia adalah "alasan belaka" dan tidak ada penjelasan logis mengenai pengecualian Turki dari program jet tempur F-35, karena Ankara telah melakukan sebagian besar pembayaran.
Turki akan mengurus urusannya sendiri tanpa terhalang oleh sanksi semacam itu, sebut Erdogan, sambil menambahkan bahwa Turki sekarang lebih bertekad untuk meningkatkan sektor pertahanannya.
Mengingat bahwa Turki berada di bawah embargo senjata setelah operasi perdamaiannya di pulau Siprus pada 1974, Presiden Turki mengatakan sanksi saat itu menjadi acuan industri pertahanan negara. Sanksi baru hanya akan meningkatkan ambisi Turki untuk membawa sektor pertahanannya ke tingkat puncak.
AS pada Senin memberlakukan sanksi terhadap Turki atas pembelian sistem pertahanan rudal S-400 Rusia. Sanksi berdasarkan Undang-Undang Penentang Lawan Amerika Melalui Sanksi (CAATSA) itu menargetkan Direktorat Industri Pertahanan (SSB) Turki, termasuk Ismail Demir, kepala SSB, dan tiga pejabat lainnya.
Pada April 2017, ketika upaya berlarut larut untuk membeli sistem pertahanan udara dari AS tidak membuahkan hasil, Turki pun menandatangani kontrak dengan Rusia untuk membeli rudal S-400. Akuisisi Turki atas sistem pertahanan udara S-400 Rusia yang canggih mendorong AS untuk menghapus Turki dari program F-35 pada Juli 2019.
AS mengklaim sistem tersebut dapat digunakan oleh Rusia secara diam-diam untuk mendapatkan informasi rahasia pada jet tersebut dan tidak sesuai dengan sistem NATO. Turki pun membantah bahwa S-400 tidak akan diintegrasikan ke dalam sistem NATO dan tidak akan menimbulkan ancaman bagi aliansi, serta mengusulkan komite memeriksa masalah tersebut.
Negara itu juga mengatakan pihaknya membeli sistem Rusia setelah AS selama bertahun-tahun menolak upayanya untuk membeli rudal Patriot AS.