REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat pada Jumat (18/12) memberlakukan sanksi terhadap dua orang dan sebuah perusahaan yang disebut terlibat dalam pemilihan umum curang di Venezuela. Sanksi itu meningkatkan tekanan pada Presiden sosialis Nicolas Maduro, meski masa jabatan Presiden AS Donald Trump hampir berakhir.
Departemen Keuangan AS mengatakan telah memasukkan perusahaan teknologi biometrik Venezuela Ex-Cle Soluciones Biometricas CA ke dalam daftar hitam. Perusahaan itu disebut menyediakan barang dan jasa yang digunakan oleh pemerintah Maduro untuk mengadakan pemilihan parlemen awal bulan ini.
Amerika Serikat, Uni Eropa dan lebih dari selusin negara Amerika Latin mengatakan pekan lalu bahwa mereka tidak akan mengakui hasil pemilihan parlemen di Venezuela pada 6 Desember yang dimenangkan oleh Maduro dan sekutu dengan suara mayoritas.
"Upaya rezim Maduro yang tidak sah untuk mencuri pemilu di Venezuela menunjukkan keabaian terhadap aspirasi demokratis rakyat Venezuela," kata Menteri Keuangan Steven Mnuchin dalam pernyataannya pada Jumat (18/12).
"Amerika Serikat tetap berkomitmen untuk menargetkan rezim Maduro dan mereka yang mendukung tujuannya untuk menolak hak rakyat Venezuela atas pemilihan yang bebas dan adil," tambahnya.
AS juga menyasar dua orang yang menurut Departemen Keuangan bertindak untuk atau atas nama Ex-Cle Soluciones Biometricas CA. Mereka menargetkan dua orang berkebangsaan Argentina dan Italia Guillermo Carlos San Agustin dan warga negara Venezuela Marcos Javier Machado Requena.
Maduro, yang menuduh Amerika Serikat mencoba menggulingkannya untuk mendapatkan kendali atas sumber daya minyak Venezuela, mengecam Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo sebagai tanggapan atas pengumuman tersebut.
"Mike Pompeo yang memalukan hari ini mengeluarkan beberapa sanksi bodoh, layaknya orang dungu, .... terhadap perusahaan dan pengusaha yang memproduksi mesin sehingga rakyat Venezuela dapat memilih," kata Maduro dalam siaran televisi.
Pemerintahan Trump telah melakukan kampanye sanksi dan langkah-langkah diplomatik dalam upaya untuk menggulingkan Maduro, yang kembali terpilih pada 2018.