REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA — Pandemi Covid-19 telah menimbulkan guncangan pada kehidupan pengungsi dan migran di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendokumentasikan hal itu dalam studi terbarunya yang dirilis pada Jumat (18/12).
WHO melakukan survei terhadap lebih dari 30 ribu migran di seluruh dunia. Responden diminta menilai dampak pandemi pada kesehatan mental dan fisik mereka, termasuk kemampuan untuk bekerja serta menghidupi diri sendiri. Skala penilaian dari 0 hingga 10.
“Lebih dari setengah responden di berbagai belahan dunia mengatakan bahwa Covid-19 menyebabkan tingkat depresi, ketakutan, kecemasan, dan kesepian yang lebih tinggi,” kata WHO dalam laporannya dilansir Euronews.
Satu dari lima responden juga mengungkapkan adanya penurunan kesehatan mental serta peningkatan penggunaan alkohol dan narkoba. Dari survei WHO pun diketahui banyak dari kalangan migran dan pengungsi yang tidak dapat mencari pengobatan Covid-19.
Sebanyak 35 persen responden menyebutkan kendalan ruangan sebagai alasannya. Sementara 22 persen lainnya enggan berobat karena takut dideportasi.
“Corona telah menjadi mimpi buruk bagi para tunawisma karena layanan penting ditutup dan saya tidak dapat mengakses toilet di mana pun. Saya berakhir dengan infeksi saluran kemih dan di rumah sakit karena rasa sakit yang luar biasa,” ungkap Sam, seorang migran di Yunani yang diwawancara WHO.
Bagi Lili, seorang migran muda Vietnam yang tinggal di Denmark, rasa kesepian telah menjadi konsekuensi terbesar dari pandemi. “Saya merasa tidak ada orang yang bisa saya andalkan sekarang. Saya tidak memiliki jaring pengaman secara finansial,” katanya. Dia baru saja lulus dari gelar masternya dan tidak bekerja.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyeus mengungkapkan tujuan survei itu adalah untuk mengetahui pengalaman nyata pengungsi dan migran. Mendengarkan cerita mereka serta memahami tantangan nyata ketika dikaitkan dengan akses terbatas ke perawatan kesehatan, termasuk stigmatisasi dan diskriminasi.
“Sangat penting bagi semua negara untuk mengurangi hambatan yang mencegah pengungsi serta migran mendapatkan perawatan kesehatan, dan memasukannya ke dalam kebijakan kesehatan nasional,” kata Ghebreyesus.