REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebanon saat ini dilaporkan telah bersiap untuk melakukan lockdown baru. Tindakan tegas terhadap virus Covid-19 itu, dijanjikan para pejabat pada Senin (4/1) ini, setelah musim liburan berakhir dan menyebabkan peningkatan besar tingkat infeksi.
"Kami menghadapi fase yang sangat kritis dan kami membutuhkan tindakan yang luar biasa dan tegas serta penerapan yang ketat," kata Perdana Menteri sementara Hassan Diab dikutip dari alarabiya, Senin (4/1).
Berdasarkan informasi, 100 pasien setiap hari setidaknya diangkut ke rumah sakit. Jumlah itu, menyebabkan penuhnya hunian di ICU dan tempat tidurnya. Jumlahnya mulai meningkat musim panas ini, menyusul ledakan besar di pelabuhan Beirut yang mengguncang kota dan sektor kesehatannya. Infeksi setelah ledakan Agustus juga diketahui meningkat lebih dari 300 persen dari bulan sebelumnya dan terus meningkat sejak saat itu.
Meskipun ada lockdown selama dua pekan pada November, jumlahnya juga dikabarkan terus meningkat. Hal itu, diperburuk dengan adanya musim liburan dan kembalinya hampir 80 ribu ekspatriat untuk merayakannya di rumah.
Lockdown kota dan desa gagal menahan infeksi baru. Termasuk denda bagi pelanggar untuk tidak menghentikan pertemuan besar pada Malam Tahun Baru. Kekhawatiran semakin memuncak ketika angkanya dapat melampaui 5 ribu infeksi per hari.
Krisis tersebut juga diperparah dengan krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu menyebabkan gagal bayar utang, dan membuat mata uang lokalnya jatuh dan kehilangan 80 persen nilainya terhadap dolar.
Menjelang liburan, pihak berwenang Lebanon melonggarkan pembatasan, dengan harapan dapat memberikan dorongan ekonomi yang bergolak, terutama dengan ribuan ekspatriat di kota. Hal ini memicu perdebatan tentang apakah kebijakan pemerintah yang goyah, atau lemahnya penerapan jarak sosial dan tindakan lain yang berada di balik lonjakan tersebut.