REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China menyerukan Inggris dan Kanada mencabut pembatasan perdagangan dengan perusahaan yang berbasis di Provinsi Xinjiang. Beijing menganggap kedua negara tersebut telah mengabaikan fakta terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah tersebut.
"China sangat menentang ini, Kanada dan Inggris harus segera menarik keputusan mereka yang salah. Berhenti mencampuri urusan dalam negeri China dan merugikan kepentingan China," kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Cina Zhao Lijian dalam pengarahan pers pada Rabu (13/1) dikutip laman resmi Kemlu China.
Zhao menuduh Inggris dan Kanada menyebarkan kebohongan tentang pelanggaran HAM serta kerja paksa di Xinjiang. "Apa yang disebut 'kerja paksa' tidak lain adalah kebohongan yang dibuat oleh institusi dan individu tertentu di negara-negara Barat dan kolega saya serta saya telah menyatakan posisi China dan mengklarifikasi fakta pada beberapa kesempatan," ujarnya.
Dia menjelaskan kebijakan perburuhan dan ketenagakerjaan yang positif telah diberlakukan di Xinjiang. Pekerja dari kelompok etnis minoritas di sana memilih pekerjaan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Mereka pun secara sukarela menandatangani kontrak dengan atasannya atas dasar kesetaraan serta mendapatkan pembayaran yang pantas. "Bagaimana orang bisa menyebut ini 'kerja paksa'?" kata Zhao.
Zhao pun kembali membantah tuduhan tentang keberadaan kamp-kamp untuk menahan satu juta warga Uighur. Dia menyebut hal itu adalah fitnah yang tidak berdasar.
China telah dituding melakukan pelanggaran HAM secara terstruktur, sistematis, dan masif di wilayah Xinjiang. Beijing dilaporkan menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di kamp-kamp interniran. Aktivitas indoktrinasi agar mereka memuja pemerintah dan Partai Komunis China (PKC), termasuk Presiden Xi Jinping, dilakukan secara intensif.