REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Total nilai dagang antara Korea Utara dan China turun sampai lebih dari 80 persen tahun lalu. Hal itu menurut otoritas kepabeanan di China.
Turunnya transaksi dagang itu terjadi akibat Covid-19 yang memaksa dua negara sempat menutup perbatasan dan membatasi perjalanan.
China merupakan mitra dagang terbesar Korea Utara yang menguasai 90 persen total nilai dagang luar negeri Pyongyang. Namun, nilai dagang antara Korut dan China turun hampir 80,7 persen apabila dibandingkan dengan angka pada 2019.
Data dari bea cukai China yang terbit Senin (18/1) menunjukkan total nilai dagang Korea Utara dan China pada 2020 mencapai 539 juta dolar AS (sekitar Rp7,6 triliun).
Sementara itu, ekspor Korea Utara ke China tercatat sebanyak 48 juta dolar AS (sekitar Rp674,4 miliar), turun sekitar 77,7 persen. Impor dari China ke Korea Utara juga tercatat 491 juta dolar AS (sekitar Rp6,9 triliun), turun 80,9 persen apabila dibandingkan dengan angka pada 2019.
Otoritas di China tidak menyebut alasan di balik penurunan itu. Namun beberapa informasi menunjukkan Korea Utara kian menutup diri sejak negara itu menutup perbatasan pada akhir Januari 2020 demi mencegah penyebaran Covid-19. Penutupan perbatasan dilakukan Korut beberapa minggu setelah China melaporkan adanya wabah Covid-19.
Korea Utara sampai hari ini belum melaporkan adanya kasus positif Covid-19, tetapi seluruh pintu perbatasan ditutup, layanan transportasi umum dan aktivitas perjalanan antarkota dibatasi ketat oleh pemerintah. Otoritas setempat juga melarang adanya pertemuan warga yang dihadiri oleh lebih dari lima orang, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum lama ini.
"Pengawasan secara berkala terus dilakukan, sampel-sampel terkait Covid-19 masih diperiksa di 15 laboratorium, termasuk di antaranya di 13 laboratorium di daerah," kata WHO dalam laporannya.
Kegiatan ekonomi di Korut, yang dikendalikan oleh pemerintah, telah cukup lama terdampak sanksi yang diberikan oleh beberapa negara Barat. Sanksi dan embargo dijatuhkan oleh negara-negara itu karena Korea Utara mengembangkan nuklir.
Dampak Covid-19 pun memperparah krisis ekonomi di Korut.
Data mengenai perekonomian di Korut juga cukup jarang ditemukan. Namun, pertumbuhan ekonomi di Korut, merujuk riset Fitch Solutions, turun 8,5 persen tahun lalu. Hana Institute of Finance, yang berpusat di Seoul, Korea Selatan, memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Korut turun sampai 10 persen.
Korut mengganti sebagian besar anggota kabinetnya, termasuk menteri kesehatan. Pimpinan tertinggi di Korut menyebut mereka "gagal merespon cepat" pandemi sehingga berdampak pada anggaran negara.
Pimpinan Tertinggi Korut, Kim Jong-un mengatakan rencana ekonomi lima tahunannya, yang diumumkan pada 2016, hampir seluruhnya gagal. Namun, ia memuji para pekerja karena mampu menjaga stabilitas di tengah situasi pandemi.