REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Anggota parlemen Myanmar dijadwalkan menduduki posisi mereka pada Senin (1/2), sementara ketegangan yang meningkat antara pemerintah sipil dan militer menimbulkan kekhawatiran adanya kudeta setelah proses pemilu, yang menurut tentara diwarnai kecurangan.
Militer mengatakan akan "mengambil tindakan" jika keluhannya tentang pemilihan tidak ditangani. Seorang juru bicara militer pekan ini menolak untuk mengesampingkan kemungkinan kudeta.
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi meraih kemenangan gemilang dalam pemilihan 8 November, pemilu kedua yang berlangsung bebas dan adil sejak berakhirnya pemerintahan militer pada 2011. Namun, tuduhan oleh tentara tentang kecurangan pemilih yang meluas, yang dibantah oleh komisi pemilihan, telah menyebabkan konfrontasi antara pemerintah sipil dan militer, yang berbagi kekuasaan dalam pengaturan konstitusional yang aneh.
Pengaturan itu mencadangkan 25 persen kursi di parlemen untuk militer, yang telah menuntut resolusi atas pengaduannya sebelum Senin, dan telah menolak untuk menyebutkan apakah anggota parlemennya akan hadir. Semakin menambah ketidakpastian, Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan dalam pidato video yang dipublikasikan secara luas kepada personel militer pada Rabu (27/1) bahwa sebuah konstitusi harus dicabut jika tidak dipatuhi. Dia mengutip contoh sebelumnya ketika aturan telah dihapuskan di Myanmar.