REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Dino Patti Djalal mengatakan, penahanan Aung San Suu Kyi dan politisi Myanmar lainnya menunjukkan kemunduran demokrasi di negara itu. Melalui lembaganya, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino mengatakan sangat prihatin dengan gejolak politik yang terjadi di Myanmar.
"Pemberlakukan masa darurat dan pengambilalihan kekuasaan selama satu tahun yang dilakukan militer tidak memiliki dasar hukum, politik dan moral dan jelas menjadi preseden buruk bagi proses pembangunan bangsa Myanmar," kata Dino dalam siaran pers yang dirilis FPIC, Selasa (2/2).
Dino mengakui sejumlah pemilihan umum di seluruh dunia tidak sempurna, kacau, dibebani ketidakpercayaan, kecurangan dan lemahnya kepercayaan. Tetapi lanjutnya, perbedaan hasil pemilihan umum tidak boleh diselesaikan melalui intervensi militer.
"Militer Myanmar seharusnya tidak menjadi hakim dan penengah pemilu. Memang kemajuan demokrasi di Myanmar membutuhkan langkah militer yang menentukan dalam melangkah keluar dari politik praktis dan tidak mencengkramkan perannya," tambah Dino.
Ia mengatakan harus diingat Indonesia diawal masa transisi demokrasinya juga mengalami apa yang dialami Myanmar. Krisis keuangan, separatisme, lemah institusi negara, gejolak politik, konflik sosial, dan terorisme. Tetapi Indonesia tidak pernah kehilangan kepercayaan pada demokrasi dan tak mau mundur.
Baca juga : Militer Myanmar Serahkan Kekuasaan Setelah Masa Darurat Usai
Kesediaan militer Indonesia untuk sepenuhnya mundur dari politik dan menjadi militer profesional yang menjaga demokrasi mendorong keberhasilan Indonesia mempertahankan reformasi. Dino mengatakan hal itu tidak terjadi di Myanmar. Pada pemilu 2015 lalu peran militer di sistem politik Myanmar masih kuat.
"FPCI mendesak pemimpin militer Myanmar untuk segera membebaskan Daw Aung Suu Kyi dan rekan-rekan politiknya dan semua tahanan politik yang saat ini masih ditahan dan membiarkan mereka mengalani peran sah mereka dalam proses politik Myanmar," tambah Dino.