REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Menteri Unifikasi Korea Selatan (Korsel) Lee In-young mengatakan agar perundingan denuklirisasi dapat dimulai kembali maka Amerika Serikat (AS) harus lebih fleksibel dalam menegakkan sanksinya terhadap Korea Utara (Korut). Sanksi-sanksi tersebut diterapkan agar Korut menghentikan program nuklirnya.
Pemimpin Korut Kim Jong-un dan mantan Presiden AS Donald Trump merencanakan denuklirisasi Semenanjung Korea di pertemuan pertama mereka pada 2018. Tapi tidak ada kemajuan dalam pertemuan kedua dan perundingan-perundingan berikutnya.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden belum mengumumkan kebijakan apapun mengenai Korut. Tetapi Seoul yang ingin membangkitkan kembali kerja sama lintas batas berharap Biden bersedia bernegosiasi lagi dengan Pyongyang.
Lee mengatakan penegasan sanksi mungkin tidak akan membawa Korut ke meja perundingan. "Bila kami membicarakan sanksi tambahan, sudah waktunya untuk meninjau apa yang telah diraih sanksi-sanksi itu sejauh ini, penguatan mungkin bukan segalanya," kata Lee dalam konferensi pers, Rabu (2/2).
"Kami harus melihat kembali aspek menerapkan sanksi fleksibel yang tergantung pada situasi dapat memainkan peran dalam mempercepat negosiasi denuklirisasi," tambahnya.
Pernyataan Lee ini disampaikan setelah Presiden Korsel Moon Jae-in mendesak Biden untuk melanjutkan langkah yang telah dibangun Kim dan Trump. Pekan lalu Perdana Menteri Korsel Chung Sye-kyun mengatakan Pyongyang dan Washington harus mencari kesepakatan awal di berbagai isu. Termasuk menahan dan memotong aktivitas serta program nuklir Korut agar perundingan denuklirisasi dapat berjalan kembali.
Lee tidak menjelaskan sanksi apa yang harus dilonggarkan. Namun ia berharap kedua negara Korea dapat melakukan kerja sama kemanusiaan termasuk mengirim bantuan pandemi virus Corona ke Korut.