REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pengungsi Rohingya di Bangladesh menentang kudeta militer di negara asal mereka Myanmar. Mereka mengaku khawatir tentang tindakan keras lain terhadap keselamatan orang yang mereka cintai pascakudeta.
“Kami khawatir Tatmadaw (tentara Myanmar) akan melancarkan operasi lagi," kata Muhammad Ansar (35), dilansir dari Anadolu Agency, Jumat (5/2).
Ansar merupakan salah satu dari 750 ribu Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan brutal dan penganiayaan setelah penumpasan tentara pada 2017. Ribuan pria, wanita dan anak-anak Muslim dibunuh, dilempar ke dalam api, dan diperkosa di negara mayoritas Buddha itu.
Bangladesh menampung lebih dari satu juta orang Rohingya di kamp-kamp darurat yang sempit di Cox's Bazar, yang dianggap sebagai pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Hampir 600 ribu dari mereka, bagaimanapun, masih tinggal di negara Asia Tenggara, tetapi tanpa kewarganegaraan dan hak suara.
Militer Myanmar sekarang bertanggung jawab dan telah menyatakan keadaan darurat selama setahun. Para pemimpin termasuk Aung San Suu Kyi, yang telah dituduh melanggar undang-undang impor dan ekspor dan kepemilikan perangkat komunikasi yang melanggar hukum, masih dalam tahanan rumah. "Kami tidak dapat menghubungi kerabat kami di Rakhine karena seringnya jaringan seluler terganggu," kata Jumalida Begum.
"Kami mendengar militer mungkin akan melancarkan tindakan keras baru. Saya khawatir," tambahnya.
Rahmat Karim (57) mengatakan semua harapan untuk kembali ke tanah air telah hancur setelah tentara militer pada 1 Februari 2021 mengambil alih. "Sepertinya sangat tidak mungkin sekarang."
Myanmar sebelumnya mengatakan pihaknya berkomitmen untuk repatriasi sesuai perjanjian bilateral dengan Bangladesh.
Amir Ali, seorang pelajar muda, mengatakan adalah kesalahan Suu Kyi untuk bekerja dan berkolaborasi dengan militer, yang berhak mendapatkan 25 persen kursi di parlemen. "Kami tidak punya harapan bagus dari militer," katanya.