Senin 08 Feb 2021 13:23 WIB

Haiti Sebut Gagalkan Upaya Kudeta dan Pembunuhan Presiden

PM Haiti menyebut 23 orang yang ditahan polisi membawa senjata dan amunisi.

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Yudha Manggala P Putra
 Orang-orang berdemonstrasi untuk menuntut pengunduran diri Presiden Moise, yang dituduh oleh oposisi korupsi, di jalan-jalan Port-au-Prince, Haiti, 18 November 2020.
Foto: EPA-EFE / JEAN MARC HERVE ABELARD
Orang-orang berdemonstrasi untuk menuntut pengunduran diri Presiden Moise, yang dituduh oleh oposisi korupsi, di jalan-jalan Port-au-Prince, Haiti, 18 November 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT-AU-PRINCE -- Pihak berwenang Haiti menyatakan menahan lebih dari dua puluh orang termasuk seorang hakim Mahkamah Agung atas upaya kudeta. Presiden Jovenel Moise menyebut orang-orang yang ditahan tersebut berencana membunuhnya. Penahanan ini diprediksi memanaskan ketegangan politik negara di Karibia itu.

Dalam konferensi pers di kediaman pribadinya, Perdana Menteri Joseph Jouthe mengatakan dari 23 orang yang ditahan polisi ditemukan membawa uang, senjata dan amunisi. Ia mengatakan orang-orang itu menghubungi keamanan istana negara dan petugas keamanan istana negara yang bertugas menahan presiden. "Dan juga memfasilitasi pelantikan presiden yang baru," kata Jouthe didampingi Menteri Kehakiman dan Kepala Polisi, Senin (8/2).

Di bandara Port-Au-Prince dalam perjalanan menuju festival tahunan di kota pinggir pantai Jacmel, Presiden Moise mengatakan orang-orang itu mengincar nyawanya.

Penahanan dilakukan usai pekan ini tokoh oposisi mengumumkan akan mengganti Moise dengan kepala negara yang baru. Oposisi mengatakan Moise otoriter dan membawa negara termiskin di Dunia Belahan Barat menuju kekacauan ekonomi.

Ahad (7/2) kemarin demonstran anti-pemerintah bentrok dengan polisi di Port-Au-Prince. Selain itu muncul unjuk rasa anti-Moise di sejumlah kota.

Rencana oposisi memanggil anggota masyarakat sipil dan ketua oposisi untuk memilih presiden baru dari hakim Mahkamah Agung yang sedang menjabat. Mereka menolak menunggu pemilihan presiden yang dijadwalkan September tahun ini.

Moise yang memerintah melalui dekrit sejak pertengahan Januari menyatakan akan menyerahkan kekuasaan pada pemenang pemilihan umum. Tapi ia tidak akan mundur hingga masa jabatannya habis pada tahun 2022.

Jumat (5/2) lalu pemerintah AS sudah mendesak kedua belah pihak menyelesaikan krisis ini melalui dialog. "Presiden terpilih yang baru harus menggantikan Presiden Moise ketika masa jabatannya habis pada 2 Februari 2022," kata AS.

Moise juga sudah merencanakan untuk menggelar referendum amandemen konstitusi pada bulan April. Oposisi menyuarakan kekhawatiran mereka pemungutan suara akan dilakukan tidak bebas dan adil dan akan memberikan Moise kekuasaan yang terlalu besar.

Pandemi virus corona memicu krisis ekonomi di Haiti. Selama satu tahun terakhir negara itu juga dilumpuhkan melonjaknya angka penculikan dan kejahatan. Sehingga membebani perekonomi negara dan memukul keras kualitas hidup rakyat biasa.

sumber : Reuters/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement