REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Unjuk rasa menentang kudeta militer di Myanmar kembali digelar pada Senin (8/2). Dalam aksinya, massa turut meminta polisi untuk bergabung bersama mereka.
Ratusan orang di Yangon berkumpul di Balai Kota. Sejumlah polisi didukung dengan kendaraan meriam air menjaga aksi tersebut. Alih-alih memprovokasi aparat, para demonstran justru mengusung plakat yang menyerukan polisi berdiri bersama mereka.
Sejauh ini aksi menentang kudeta di Myanmar telah memperoleh dukungan dari kelompok dokter, guru, pegawai pemerintah, bahkan biksu. Kali ini para demonstran tampaknya berupaya memisahkan kepolisian dari militer.
Analis politik Khin Zaw Win mengungkapkan dibandingkan militer, kepolisian lebih dekat dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Artinya polisi lebih mungkin berdiri bersama pengunjuk rasa daripada tentara.
“Apakah jumlah yang lebih besar bergabung dengan pengunjuk rasa tergantung pada perwira senior yang datang, durasi protes, dan tingkat kejadian kekerasan,” kata Khin Zaw Win, dikutip laman Aljazirah.
Pada Sabtu (6/2) pekan lalu, ribuan demonstran yang menentang kudeta militer menghadapi pasukan keamanan untuk pertama kalinya. Ketegangan sempat membekap Jalan Insein Yangon. “Berdiri bersama rakyat!” teriak para pengunjuk rasa.
Baca juga : Warga Myanmar Kian Berani dengan Militer
Salah satu demonstran mengenakan jaket dengan tudung kepala berwarna hitam kemudian berjalan ke hadapan barikade polisi sambil mengacungkan tanda bertuliskan “Sisi mana yang akan Anda perjuangkan? Penindas atau tertindas?”
Pada 1 Januari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Militer Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat yang bakal berlangsung selama satu tahun. Sepanjang periode itu, militer akan mengontrol jalannya pemerintahan. Pemilu bakal digelar kembali setelah keadaan darurat usai.