REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru menutup akses dialog tingkat tinggi dengan Myanmar dan melarang pimpinan militer negara itu masuk setelah adanya kudeta di Naypyitaw minggu lalu. Hal itu dikatakan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, Selasa (9/2).
PM Ardern, saat memberi keterangan kepada pers, mengatakan Selandia Baru akan memastikan program-program bantuannya tidak melibatkan dan menguntungkan pemerintah junta militer Myanmar.
"Kami mengirim pesan tegas bahwa kami akan melakukan apapun dari sini di Selandia Baru dan salah satunya adalah menghentikan dialog tingkat tinggi ... serta memastikan dana bantuan yang kami berikan ke Myanmar tidak mendukung rezim militer," kata Ardern.
Setidaknya ada sekitar 42 juta dolar Selandia Baru (sekitar Rp 426,2 miliar) yang diberikan oleh Wellington ke Naypyitaw dalam kurun waktu 2018 sampai 2021, terang PM Ardern. Selandia Baru tidak mengakui pemerintahan militer dan meminta otoritas junta militer untuk segera membebaskan seluruh tahanan politik, serta memulihkan pemerintahan sipil di Myanmar, kata Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta sebagaimana dikutip dari pernyataan tertulisnya.
Mahuta mengatakan Pemerintah Selandia Baru telah menyetujui larangan masuk dan larangan perjalanan bagi pimpinan militer di Myanmar. Ketentuan itu akan ditetapkan pada beberapa minggu ke depan.
Baca juga : Indonesia Siapkan Evakuasi WNI Jika Kondisi Myanmar Memburuk
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, berjanji akan menggelar pemilihan umum yang baru dan menyerahkan kekuasaan ke pemenang pemilu. Pengumuman itu disampaikan Hlaing untuk menenangkan massa yang berunjuk rasa memprotes kudeta militer.
Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah, Senin minggu lalu (1/2), dan menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi.