REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Singapura menanggapi situasi di Myanmar yang menurutnya berkembang mengkhawatirkan, Selasa (16/2). Namun dia mengatakan, tidak mendukung sanksi yang meluas terhadap negara tersebut.
Sebab menurutnya, sanksi sebagai tanggapan atas kudeta di sana, bakal merugikan warga negara biasa. Berbicara di depan parlemen, Menlu Vivian Balakrishnan mengatakan dirinya dan pemerintah Singapura berharap pembebasan para tahanan termasuk pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, dan Presiden Win Myint serta tokoh politik lain, sehingga mereka dapat merundingkan masalah dengan militer yang melakukan kudeta.
Sebagai investor utama di Myanmar, Singapura prihatin dengan bentrokan kekerasan pada protes damai, penangkapan pegawai negeri, pemadaman internet, hingga penempatan pasukan dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan kota.
"Ini adalah perkembangan yang mengkhawatirkan. Kami mendesak pihak berwenang untuk menahan diri sepenuhnya," katanya.
"Kami berharap mereka akan segera mengambil langkah untuk meredakan situasi. Seharusnya tidak ada kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Dan kami berharap akan ada resolusi damai."
Balakrishnan mengatakan, partai Suu Kyi (Liga Nasional untuk Demokrasi) telah meraih kemenangan telak dalam pemilihan November lalu. Kudeta merupakan kemunduran besar bagi ekonomi Myanmar.
Menurutnya, bisnis Singapura mungkin menilai kembali profil risiko dan eksposur mereka ke negara tersebut. Dia mengatakan, menerapkan sanksi yang luas akan merugikan penduduk di Myanmar, sebab kemiskinan di sana terbilang parah. Hal ini pun telah dia diskusikan dengan Barat, termasuk Jerman.
Amerika Serikat (AS) dan Inggris termasuk di antara negara-negara yang telah mengumumkan atau mengancam sanksi sebagai tanggapan atas kudeta Myanmar. Namun Singapura tidak setuju dengan penerapan sanksi seperti itu.
"Kita seharusnya tidak menerapkan sanksi sembarangan yang digeneralisasikan secara luas karena orang yang paling menderita adalah warga biasa di Myanmar," kata Menlu Singapura.
Pernyataannya termasuk paling komprehensif dari seorang menteri tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), yang memiliki kebijakan non-campur tangan dalam urusan anggotanya. Indonesia dan Malaysia telah menyerukan pertemuan khusus untuk membahas situasi di Myanmar, salah satu anggota ASEAN.