REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pendukung militer dan penentang militer mengalami bentrok di jalan-jalan kota Yangon, Myanmar Kamis (25/2) waktu setempat. Itu terjadi ketika pihak berwenang melarang mahasiswa meninggalkan kampus untuk berdemo.
"Kami, mahasiswa, harus menghancurkan kediktatoran," kata Kaung Sat Wai (25 tahun) di luar kampus universitas utama Yangon. "Sejak kudeta, hidup kami menjadi tanpa harapan, mimpi kami telah mati," ujarnya.
Polisi memblokir gerbang kampus dan menghentikan ratusan mahasiswa yang keluar untuk berbaris melakukan aksi unjuk rasa. Pada saat yang sama, sekitar 1.000 pendukung militer berkumpul untuk unjuk rasa di Yangon bagian tengah.
Satu pekerja media mengaku diancam pendukung militer. Dia mengatakan, bentrokan kemudian pecah antara pengunjuk rasa pro dan anti militer. "Seorang fotografer sedikit terluka," katanya.
Saksi mata mengatakan, pendukung militer melemparkan batu dan menembakkan ketapel. Sementara, ada laporan penikaman namun belum dikonfirmasi.
Konfrontasi tersebut menggarisbawah volatilitas di negara yang sebagian besar dilumpuhkan oleh protes dan kampanye pembangkangan sipil terhadap militer. Aksi massa juga telah diikuti oleh banyak profesional dan pegawai pemerintah. Para dokter akan mengadakan protes pada Kamis (25/2) sebagai bagian dari apa yang disebut revolusi jas putih.