REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- PBB mencatat sekurangnya 38 orang terbunuh dalam hari paling berdarah pada Rabu (3/2) menyusul protes massa antikudeta di Myanmar. Pemerintah militer justru meningkatkan cengkeramannya dalam menentang kecaman internasional atas tindakan keras junta terhadap pengunjuk rasa.
"Hanya hari ini, 38 orang tewas," ujar utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener pada Rabu waktu setempat, dikutip laman Channel News Asia, Kamis (4/3).
Dia menambahkan, lebih dari 50 orang tewas secara total sejak pengambilalihan militer. Sementara, lebih banyak lagi yang terluka. "Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi," katanya tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Burgener meminta PBB untuk mengambil tindakan sangat keras terhadap para jenderal. Dia juga mengatakan, percakapannya dengan militer, mereka telah menepis ancaman sanksi. "Saya akan terus maju, kami tidak akan menyerah," katanya.
Kekerasan membuat Amerika Serikat (AS) "terkejut dan jijik". "Kami meminta semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mengutuk kekerasan brutal oleh militer Burma terhadap rakyatnya sendiri," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Dia meminta China yang sering dianggap oleh militer Myanmar sebagai sekutu utamanya untuk menekan junta. "China memang memiliki pengaruh di kawasan itu. Itu memang memiliki pengaruh dengan junta militer. Kami telah meminta China untuk menggunakan pengaruh itu dengan cara yang konstruktif, dengan cara yang memajukan kepentingan rakyat Burma," kata Price.
Baca juga : Indonesia Desak Militer Myanmar Hentikan Tindakan Kekerasan
Price juga mengatakan, AS tengah mempertimbangan tindakan lebih lanjut setelah sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin junta. Sebelumnya, kantor berita AFP mencatat sekurangnya 17 kematian di seluruh Myanmar pada Rabu.