REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Australia dan Selandia Baru menyambut sanksi yang dijatuhkan oleh beberapa negara Barat untuk China terkait pelanggaran HAM terhadap orang-orang Uighur.
China telah dituduh melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas itu di wilayah otonom Xinjiang. China telah menahan hingga satu juta orang Uighur di fasilitas penahanan yang disebut "kamp pendidikan ulang".
Pada 19 Januari, di hari terakhir masa jabatannya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menuding China melakukan genosida terhadap kelompok minoritas tersebut. Sanksi pun kemudian diberlakukan sebagai upaya terkoordinasi oleh Uni Eropa, Inggris, AS dan Kanada.
Dalam pernyataan bersama, menteri luar negeri Selandia Baru dan Australia menyatakan keprihatinan mereka atas meningkatnya jumlah laporan yang kredibel tentang pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.
"Ada bukti nyata pelanggaran HAM berat yang mencakup pembatasan kebebasan beragama, pengawasan massal, penahanan, kerja paksa, pengendalian kelahiran, hingga sterilisasi," papar kedua menlu.
"Selandia Baru dan Australia menyambut baik langkah-langkah yang diumumkan oleh Kanada, Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat," tambah mereka.
Para diplomat mengatakan mereka secara konsisten meminta Beijing untuk menghormati hak asasi manusia Uighur, dan agama serta etnis minoritas lainnya. "Hari ini kami mengulangi seruan kami pada China untuk memberikan akses yang tidak terbatas ke Xinjiang untuk pakar PBB dan pengamat independen lainnya," tegas mereka.
Sementara itu, Beijing memberlakukan sanksi balasan ke anggota parlemen, peneliti, dan institusi Eropa yang dianggap "menyebarkan kebohongan dan disinformasi".