Sabtu 27 Mar 2021 10:13 WIB

Konflik Nasionalisme Vaksin Menguat: Inggris Vs Uni Eropa

Uni Eropa dan Inggris saling gertak untuk tidak mengirim vaksin yang dibutuhkan.

 Seorang petugas kesehatan menunjukkan botol vaksin COVID-19 AstraZeneca saat kampanye vaksinasi COVID-19 massal di Sanur, Bali, Indonesia, 22 Maret 2021.
Foto:

Negara-negara kaya dicurigai telah menimbun vaksin [6], yang membuat distribusi vaksin menjadi tidak merata di seluruh dunia, terutama negara-negara miskin.

Persaingan lebih lanjut antarnegara yang mempunyai lebih banyak pasokan vaksin bisa memperburuk masalah ini.

Pada Februari, Bruce Aylward, penasihat senior direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan keprihatinannya atas "nasionalisme" vaksin dan menyerukan kerja sama global lebih besar dalam menghadapi pandemi.

“Apa pun yang membatasi kemampuan untuk mengeluarkan [vaksinasi] akan memengaruhi kemampuan kita mengendalikan penyakit ini dan mencegah munculnya varian baru,” kata dia [7].

“Dunia harus bekerja sama untuk keluar dari ini.”

Bagaimanapun, pandemi ini diperkirakan masih lama akan berakhir, bahkan di Eropa, yang kini sedang melakukan vaksinasi dengan cukup cepat.

Jerman bahkan mengumumkan bahwa gelombang ketiga pandemi [8] telah dimulai, Italia kembali mengalami lockdown dan kepala ahli statistik Inggris mengatakan [9] gelombang Covid-19 baru akan terjadi pada musim gugur, meskipun sebagian besar vaksin berhasil diluncurkan di negara itu. Fakta ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 belum jelas kapan berakhirnya.

Terlepas dari pernyataan terbaru von der Leyen, vaksin Oxford-AstraZeneca tampaknya menjadi korban nasionalisme vaksin. Sebelumnya pada Maret, beberapa negara UE menangguhkan [10] impor vaksin.

Hal ini dilakukan menyusul laporan bahwa beberapa orang di Jerman, Irlandia, dan Norwegia mengalami pembekuan darah setelah disuntik vaksin buatan AstraZeneca.

Terlepas dari kenyataan banyak negara Uni Eropa khawatir terhadap risiko pembekuan darah, namun ternyata hanya terdata satu kasus pembekuan darah yang serius [11] per 500.000 vaksinasi.

European Medicines Agency menyatakan pada 15 Maret [12] bahwa tidak ada bukti vaksin Oxford menyebabkan pembekuan darah secara langsung.

Selama kontroversi ini, anggota Parlemen Konservatif Inggris Anthony Browne menuduh [13] Uni Eropa memolitisasi masalah vaksin AstraZeneca, sementara Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebutnya sebagai "Brexit merajuk".

Menteri Kesehatan Italia juga mengatakan bahwa itu adalah "keputusan politik" dari beberapa negara anggota UE dan ketegangan atas Brexit mungkin telah mendorong langkah tersebut.

Ketegangan atas produk vaksin meningkat seiring dengan ketegangan Brexit. UE meluncurkan [14] proses hukum terhadap Inggris pada 15 Maret sebagai tanggapan atas upaya London memperpanjang masa tenggang Brexit pada impor makanan ke Irlandia Utara.

Namun, pada Januari, UE juga dituduh mencoba menghalangi pengiriman vaksin dari Republik Irlandia ke Irlandia Utara, yang kemudian akan menjangkau seluruh Inggris Raya. Tuduhan ini dibantah oleh Brussel.

Lembaga HAM mengecam keras Uni Eropa....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement