REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sebuah aksi menyalakan lilin dilakukan oleh para pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Senin (29/3) malam. Aksi ini dilakukan setelah Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) menyatakan bahwa lebih dari 500 orang telah meregang nyawa sejak kudeta militer pada 1 Februari.
Pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan maksimal untuk membubarkan demonstran di seluruh penjuru negeri. Seorang saksi mata mengatakan, pada Senin pasukan keamanan di distrik Dagon Selatan, Yangon menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya. Namun tidak dijelaskan senjata jenis apa yang digunakan oleh pasukan keamanan itu.
Televisi pemerintah mengatakan, pasukan keamanan menggunakan senjata huru-hara untuk membubarkan kerumunan. Seorang warga South Dragon pada Selasa (30/3) mengatakan, semalam bunyi tembakan terdengar lebih sering dari biasanya.
Hal ini meningkatkan kekhawatiran akan lebih banyak korban yang meregang nyawa akibat kekejaman militer Myanmar. Polisi dan juru bicara junta militer sejauh ini belum memberikan komentar atas melonjaknya jumlah warga sipil yang tewas.
Sebelumnya, pada Ahad (28/3), aparat keamanan Myanmar melepaskan tembakan pada sebuah upacara pemakaman di dekat Yangon. Penembakan terjadi ketika para pengunjuk rasa dan warga sipil berkumpul untuk berduka atas gugurnya 114 pendemo Sabtu dalam tindakan brutal aparat terhadap protes anti kudeta sejak Februari.
Para pelayat melarikan diri dari penembakan di upacara pemakaman untuk siswa berusia 20 tahun Thae Maung Maung di Bago, Yangon. Saksi mata mengatakan, tidak ada laporan tentang korban jiwa dalam penembakan itu.
"Saat kami menyanyikan lagu revolusi untuknya, pasukan keamanan baru saja datang dan menembak kami," kata seorang wanita bernama Aye yang berada di upacara pemakaman tersebut. "Orang-orang, termasuk kami, lari saat mereka melepaskan tembakan," ujarnya menambahkan.
Para pengunjuk rasa mengeluarkan strategi baru untuk menentang pemerintahan militer. Pada Selasa, mereka meningkatkan kampanye pembangkangan sipil dengan meminta penduduk untuk membuang sampah ke jalan-jalan di persimpangan jalan utama. Seruan ini telah disebarluaskan di media sosial. “Aksi mogok sampah ini adalah aksi menentang junta,” tulis sebuah poster di media sosial.
Komite Pemogokan Umum Nasional (GSCN) dalam surat terbuka di Facebook meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang penindasan yang tidak adil oleh militer. Tiga pasukan dari etnis minoritas meminta militer untuk berhenti melakukan penindasan terhadap pengunjuk rasa dan menyelesaikan masalah politik secara damai.
Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang menyatakan, jika militer tidak menghentikan kekerasan maka mereka akan bergabung untuk melakukan revolusi Myanmar.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar. Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara militer Myanmar dengan pasukan etnis di timur dan utara.