Rabu 31 Mar 2021 15:44 WIB

Investor Tekan Perusahaan untuk Tanggapi Isu Xinjiang China

Sejumlah perusahaan memiliki tantangan untuk mempertahankan bisnis dengan China

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Orang-orang berjalan melewati toko pakaian H&M di Hong Kong, Sabtu (27/3). H&M menghilang dari internet di China ketika pemerintah meningkatkan tekanan pada merek sepatu dan pakaian dan mengumumkan sanksi pada hari Jumat (26/3), terhadap pejabat Inggris di a pertengkaran yang meningkat atas keluhan pelanggaran di wilayah Xinjiang.
Foto: AP / Kin Cheung
Orang-orang berjalan melewati toko pakaian H&M di Hong Kong, Sabtu (27/3). H&M menghilang dari internet di China ketika pemerintah meningkatkan tekanan pada merek sepatu dan pakaian dan mengumumkan sanksi pada hari Jumat (26/3), terhadap pejabat Inggris di a pertengkaran yang meningkat atas keluhan pelanggaran di wilayah Xinjiang.

REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Sekelompok investor meningkatkan tekanan pada perusahaan-perusahaan Barat atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang China. Dorongan itu menyoroti tantangan bagi perusahan mencoba mempertahankan hubungan bisnis.

Kelompok yang terdiri lebih dari 50 investor didukung oleh Interfaith Center on Corporate Responsibility, mengatakan sedang dalam proses menghubungi lebih dari 40 perusahaan, termasuk H&M, VF Corp, Hugo Boss, dan pemilik Zara Inditex. Kelompok itu meminta informasi lebih lanjut tentang rantai pasok dan mendesak untuk keluar dari situasi yang dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

Baca Juga

Direktur program Investor Alliance for Human Right, Anita Dorett, mengkhawatirkan beberapa perusahaan berupaya menghapus kebijakan kerja paksa dari situs web. Beberapa perusahan pun berjanji untuk membeli lebih banyak kapas dari Xinjiang, karena takut mendapat reaksi keras dari media sosial dan perusahaan China.

"Perusahaan tidak memprioritaskan sumber daya untuk menggali rantai pasokan mereka dan memetakannya. Sebagai investor, kami menginginkan transparansi dan akuntabilitas," kata Dorett dalam sebuah wawancara.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement