REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menentang perjanjian nuklir Iran 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Komentar ini datang tak lama setelah Republik Islam Iran dan lima kekuatan dunia yang masih bergabung dalam kesepakatan itu memulai pembicaraan di Wina pada Selasa.
"Bahaya bahwa Iran akan kembali, dan kali ini dengan imprimatur internasional ke jalur yang akan memungkinkannya mengembangkan persenjataan nuklir ada di depan pintu kami pada hari ini," ujar Netanyahu dalam pertemuan faksi Likud di Knesset, dikutip laman Jerusalem Post, Rabu (7/4).
Mengacu pada JCPOA, Netanyahu menilai kesepakatan itu tidak bisa dihidupkan kembali sebab ia nilai berbahaya. Dia juga mengatakan nuklir Iran adalah ancaman eksistensial dan ancaman yang sangat besar bagi keamanan negara di seluruh dunia.
Netanyahu menyatakan itu pada hari sebelum dimulainya Hari Peringatan Holocaust. "Kita harus bertindak melawan rezim fanatik di Iran yang hanya mengancam menghapus kita dari bumi. Kita akan selalu tahu membela diri kita sendiri dari mereka yang mencari untuk membunuh kita," ujar dia.
Pada waktu yang hampir bersamaan, negosiasi tidak langsung antara Iran dan AS berakhir pada hari itu. Kepala negosiator nuklir Iran Abbas Araqchi mengatakan, bahwa Iran dan negara-negara besar akan terus membahas cara-cara untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015. "Pembicaraan di Wina konstruktif. Pertemuan kami berikutnya akan dilakukan pada hari Jumat," kata Araqchi.
Dia menambahkan bahwa Teheran tidak akan menangguhkan pengayaan uranium hingga 20 persen kemurnian fisil dengan imbalan pelepasan 1 miliar dolar AS dari dana yang diblokir di negara lain, karena sanksi AS diberlakukan kembali terhadap Iran sejak 2018.
Pada Jumat (2/4) lalu, AS dan Iran dikabarkan menggelar perundingan melalui perantara. Pertemuan ini menjadi tanda pertama kemungkinan AS bergabung kembali dengan JCPOA yang membatasi program nuklir Iran dan mencabut sanksi-sanksi AS dan internasional ke negara itu.
JCPOA dijalin pada 2015 antara Iran, Jerman, PRancis, Inggris, AS, Cina, dan Rusia. Pada 2018, mantan presiden AS Donald Trump menarik AS dari JCPOA. Kemudian, ia menerapkan berbagai sanksi kepada Iran dengan alasan untuk memberikan tekanan maksimal agar Iran bersedia menghentikan program nuklirnya. Namun di bawah Presiden AS baru, AS berjanji akan kembali ke kesepakatan nuklir.