REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Pembicaraan mengenai kesepakatan nuklir Iran akan berlanjut pada Jumat (9/4) di Ibu Kota Wina, Austria. Hal ini diharapkan membawa kembali Amerika Serikat (AS) dan Iran untuk bersama mematuhi kesepakatan nuklir yang sempat terhenti, sejak Washington memutuskan keluar pada tiga tahun lalu.
AS menyatakan siap untuk membatalkan sanksi terhadap Iran yang dianggap tidak sesuai dengan kesepakatan nuklir tersebut. Namun, Teheran diharapkan bisa mematuhi isi ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian yang pertama kali dicapai pada 2015.
Delegasi China, Rusia, Prancis, dan Inggris yang menjadi bagian dari kesepakatan yang secara resmi dinamai dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), telah bertemu secara terpisah dengan perwakilan iran dan AS dalam upaya menyuarakan posisi mereka. Kelima negara dilaporkan sepakat membentuk dua kelompok ahli untuk menyelaraskan sanksi yang siap dicabut oleh AS dengan pembatasan yang dapat diizinkan Iran untuk diterapkan kembali pada program nuklirnya. Para ahli akan memberi pengarahan kepada Komisi Gabungan JCPOA.
Sementara itu, secara terpisah, Kepala Badan Energi Atom Internasional Rafael Grossi telah bertemu dengan negosiator Iran, Abbas Araghchi di Wina pada Kamis untuk membahas nuklir di masa depan.
Sebelumnya, AS menarik diri dari JCPOA di era kepemimpinan mantan presiden Donald Trump. Hal ini membuat sanksi terhadap iran kembali diberlakukan dan Teheran merespon dengan melanggar beberapa ketentuan dalam perjanjian tersebut.
Pemerintah AS yang dipimpin Presiden Joe Biden saat ini tetap mempertahankan sanksi untuk Iran. Namun, dalam sebuah pernyataan, disebutkan bahwa Washington ingin masing-masing pihak kembali mematuhi JCPOA, namun dengan negosiasi dilakukan terlebih dahulu.
Iran telah menetapkan langkah keras dengan mengatakan bahwa ingin AS mencabut semua sanksi dan menolak setiap pelonggaran pembatasan.