REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Laporan tahunan intelijen Amerika Serikat (AS) menggambarkan bahwa Iran terus menantang kepentingan Washington di Timur Tengah. Hal ini tertuang dalam dokumen berjudul "Penilaian Ancaman Seluruh Dunia Amerika Serikat" yang dirilis ke Komite Intelijen Pilihan Senat dan termasuk kontribusi dari Central Intelligence Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI).
"Iran sebagai negara penantang utama bagi kepentingan AS di Timur Tengah karena kemampuan militernya yang canggih, jaringan proksi dan mitranya yang luas, dan kesediaan berkala untuk menggunakan kekuatan melawan AS dan pasukan mitranya," ujar laporan itu, dilansir Sputnik News, Senin (3/5).
Laporan tersebut menyatakan bahwa Teheran berusaha untuk menghindari eskalasi dengan Washington. Namun, Iran mengevaluasi arah kebijakan AS terhadap mereka dan status kehadiran Paman Sam di wilayah tersebut.
Dalam konteks ini, dokumen laporan itu menyoroti pembunuhan kepala pasukan elite Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) Qasem Soleimani oleh Amerika pada tahun lalu.
Laporan tersebut menegaskan bahwa kematian Soleimani pada awal Januari 2020 menurunkan aliansi regional Iran. Saat ini, Teheran meningkatkan keterlibatan mitra dan proksi untuk mempertahankan kedalaman strategis. Pembunuhan Soleimani telah meningkatkan ketegangan antara Teheran dan Washington.
Soleimani tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS ketika rombongan mobilnya melintas di dekat Bandara Internasional Baghdad. Iran telah berkali-kali mengisyaratkan kesiapannya untuk membalas pembunuhan Soleimani. Iran menekankan bahwa serangan rudal balistik di pangkalan AS di Irak pada 8 Januari 2020 adalah langkah awal untuk membalas dendam.
Iran meluncurkan rudal ke pangkalan udara Ain al-Asad. Serangan ini merupakan bagian dari pembalasan dendam atas pembunuhan Soleimani. Serangan itu tidak mengakibatkan kematian atau cedera serius, tetapi Pentagon sejak itu melaporkan bahwa setidaknya 109 prajurit AS telah didiagnosis dengan cedera otak traumatis.