Sabtu 15 May 2021 21:49 WIB

Cerita dari Zona Merah Covid-19 di Kamboja

Banyak rumah sakit di Kamboja yang mengalami kelebihan kapasitas akibat pandemi

Rep: Puti Almas/ Red: Christiyaningsih
 Anggota staf membagikan formulir kepada penduduk desa sebelum dosis kedua mereka di lokasi vaksin COVID-19 Sinopharm, di luar Phnom Penh, Kamboja, Rabu, 28 April 2021.
Foto:

Penduduk yang tinggal di zona merah Kamboja dilaporkan melihat harga berbagai barang naik sebanyak 20 persen tapi di saat bersamaan pendapatan mereka turun. Seluruh LSM di negara itu juga juga telah dilarang memasuki zona merah yang membuatnya semakin sulit untuk menjangkau mereka yang membutuhkan.

Wakil Direktur Regional untuk Kampanye Amnesty International Ming Yu Hah mengatakan tanggapan Pemerintah Kamboja sejauh ini ‘serampangan’. Sebagai contoh, paket bantuan pemerintah misalnya, bersifat sporadis dan hanya menjangkau sebagian kecil dari orang-orang yang berada di zona merah.

Sebaliknya, pemerintah memutuskan untuk mengirimkan bahan makanan. Akan tetapi para kritikus mengatakan paket tersebut bernilai jauh lebih rendah daripada pembayaran bantuan sebesar 75 dolar AS. Lebih dari 20.000 keluarga di Kamboja telah menerima bantuan, tetapi kebutuhan individu di negara itu masih sangat banyak.

"Pemerintah harus memastikan akses ke makanan yang memadai dan bergizi, perawatan kesehatan, dan bantuan sosial dasar bagi warga Kamboja yang paling berisiko selama masa kritis ini," ujar direktur Human Rights Group Licadho Naly Pilorge.

Chhai Boramey, seorang yang bekerja di dealer kasino dan sekarang terjebak di zona merah mengatakan rumah tangganya adalah salah satu yang belum menerima bantuan pemerintah. Ia menyebut tiga dari anggota keluarganya menganggur dan di saat bersama harus membayar penuh sewa rumah, listrik, dan pinjaman.

“Kami juga tidak mampu membayar kenaikan harga makanan,” jelas Boramey.

Amnesty International serta lainnya yang melayani di sektor nirlaba telah menerima laporan bahwa penduduk yang berbicara melalui media sosial atau melalui protes diperingatkan bahwa mereka dapat ditolak bantuannya. Namun, tak sedikit yang khawatir bahwa tanggapan bantuan lambat, di mana kondisi ini telah membuat mereka lebih kelaparan daripada ketakutan.

"Saya juga takut untuk berbicara. Namun karena saya tidak punya makanan, saya harus protes,” kata Boramey.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement