REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Konflik Israel-Palestina tidak pernah selesai dan berlangsung sampai 70 tahun lebih. Hingga kini, walau sudah mendapat pengakuan mayoritas negara-negara PBB, Palestina merupakan negara yang belum mendapat hak kemerdekaannya.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Wening Udasmoro, penyelesaian konflik berkepanjangan dan tercapainya impian rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan sangat bergantung pada AS. Selama ini AS banyak menjembatani diplomasi proposal perjanjian dua negara.
Konflik Israel dan Palestina saat ini memiliki pola yang sama, yaitu setiap konflik di mana pun kejadiannya selalu didominasinya oleh hasrat untuk banyak berkuasa. "Dampak yang ditimbulkan dari setiap konflik tetaplah rakyat sipil yang selalu menderita karena tidak memiliki senjata. Selalu kaum perempuan dan anak-anak serta lansia yang menjadi korban," kata Wening dalam diskusi Antara Amerika-Israel dan Palestina yang digelar Departemen Antar Budaya FIB UGM, Rabu (19/5).
Apalagi, masing-masing pihak sudah membangun narasi berbeda dan senantiasa dipertahankan sejak lama. Menurut Wening, cara memutus rantai konflik sebagai mata rantai merupakan sebuah tantangan bagi semua bangsa.
"Konflik yang sudah lama ini terjadi ini tidak hanya menguras perasaan, tapi pemikiran kita semua," ujar Wening.
Rektor UGM Panut Mulyono menuturkan, dukungan bangsa dan pemerintah Indonesia untuk tercapainya kemerdekaan Palestina sangat tepat. Karena itu, penyelesaian konflik kedua negara ini perlu segera dilakukan.
"Kita dukung usaha Pemerintah RI lewat jalur diplomatik dan jalur jejaring internasional untuk meminta Israel menghentikan serangannya," ujar Panut.
Pakar kajian budaya Amerika dari FIB UGM Ida Rochani Adi mengingatkan dukungan AS kepada Israel selama ini tidak lepas dari keberadaan komunitas Yahudi di Amerika. Kaum Yahudi hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
Ketika ada konflik di luar Amerika, komunitas diaspora Yahudi sangat solid. Menurut Ida, kelompok Yahudi di Amerika termasuk terdepan dibanding kelompok masyarakat lain, meski orang Yahudi di AS mayoritas mengaku tidak beragama.
"Namun, mampu membangun identitas mendukung sesama kelompok Yahudi. Pengalaman sosial, tradisi, dan sejarah perjalanan sejarah Yahudi di Amerika Serikat sudah ada sejak zaman kolonial," kata Ida.
Dubes Indonesia untuk Lebanon Hadjriyanto Y Tohari menyebut ada lima alasan AS selalu mendukung Israel hingga kini. Alasannya adalah untuk pengamanan akses terhadap minyak di Timur Tengah dan pemberian dukungan proteksi pada Israel.
Kemudian, pengamanan basis militer di Timur Tengah, mempertahankan rezim berkuasa sebagai bagian dari aliansi Amerika Serikat di Timur Tengah, serta membendung radikalisme, terorisme, dan fundalisme Islam di kawasan tersebut.
Tohari melihat kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah dalam rangka melindungi Israel agar Amerika tetap menancapkan kekuasaan di kawasan yang kaya minyak itu. Karena itu, jangan berharap pergantian Presiden AS membawa perubahan.
Apalagi, AS memandang ekstensi dan keamanan Israel sebagai landasan berpijak politik mereka. Bagi Tohari, Amerika kini bukan lagi mediator atau makelar perdamaian, melainkan perancang utama persoalan selesai dan tidaknya konflik.
"Begitu dominannya peran Amerika dalam persoalan Israel dan Palestina. Bahkan, AS menginisiasi normalisasi hubungan Israel dengan Mesir, Yordania, Sudan, dan Maroko," ujar Tohari.
Dukungan AS untuk memberi kemerdekaan kepada Palestina sangat bergantung pada iktikad baik dari pemerintah Negeri Paman Sam itu, serta tekanan negara-negara seluruh dunia. Pertanyaannya adalah apakah AS menginginkan kemerdekaan Palestina.
"Atau tetap menginginkan status quo seperti ini, antara ketenangan lalu konflik dan penyerangan? Kenyataan lebih besar kemerdekaan yang diinginkan lebih dari 70 tahun itu ada di pundak Amerika," kata Tohari.