Rabu 26 May 2021 09:26 WIB

Kasus COVID-19 di Taiwan dan Singapura Bertambah, Mengapa?

Kasus COVID-19 di Taiwan dan Singapura Bertambah

Rep: Carrington Clarke, Lucia Stein, and Rebecca Armitage/ Red:
Kasus COVID-19 di Taiwan dan Singapura Bertambah, Ada Apa?
Kasus COVID-19 di Taiwan dan Singapura Bertambah, Ada Apa?

Pakar di Australia memperingatkan para pengambil keputusan di negaranya untuk berhati-hati di tengah bertambahnya kasus COVID-19 di beberapa negara, terutama India.

Beberapa negara yang sebelumnya sudah dianggap berhasil menangani pandemi dengan angka kasus rendah dalam beberapa bulan terakhir juga menghadapi peningkatan kasus.

Sebagian besar warganya bahkan rentan dan masih belum divaksinasi.

Contohnya adalah Thailand, negara yang sampai beberapa bulan lalu dianggap sebagai satu dari lima negara di dunia yang paling berhasil menangani pandemi.

Merebaknya varian virus corona dari Inggris di distrik Thonglor, Bangkok bulan Maret lalu menyebabkan jumlah kasus di negara tersebut meroket tajam.

Negara tetangga Kamboja, Laos dan Malaysia juga mengalami penambahan kasus, meski sumber penyebaran virusnya bervariasi.

Di Vietnam, negara yang juga dianggap berhasil tahun lalu, pekerja kesehatan sudah diminta mempersiapkan diri menerima sekitar 30 ribu kasus setelah kasus mulai meningkat di pertengahan April.

Dan Singapura, negara yang sebelumnya sudah berencana membuka koridor perjalanan dengan Hong Kong, juga mencatat penambahan kasus lagi.

Karenanya, koridor perjalanan dibatalkan dan pembatasan pergerakan di dalam Singapura diberlakukan lagi.

Apa yang terjadi di beberapa negara Asia ini sudah mulai menimbulkan kekhawatiran di Australia.

Kepala Petugas Kesehatan Victoria, Profesor Brett Sutton mengatakan yang terjadi di negara-negara yang sebelumnya hampir tidak memiliki kasus tersebut menjadi pelajaran bagi yang lain.

"Kita tidak boleh lengah dengan kemungkinan tidak ada kasus, apalagi di tengah munculnya varian baru," katanya di Twitter.

Tetapi menurut para pakar, bertambahnya jumlah kasus di Taiwan, yang penanganan pandeminya merupakan salah satu yang terbaik di dunia, harus diperhatikan dengan seksama oleh Australia.

Menurut pakar epidemiologi dari University of NSW, Profesor  Mary-Louise McLaw, dengan jumlah penduduk dan sistem karantina yang hampir sama, kenaikan kasus dalam beberapa hari di Taiwan "mencengangkan" dan bisa dijadikan pelajaran oleh Australia.

Kenaikan kasus yang tiba-tiba di Taiwan

Sama seperti Australia, Taiwan terlindungi karena merupakan kawasan pulau yang cukup cepat dalam menutup perbatasan di permulaan pandemi.

Taiwan juga memiliki strategi kesehatan publik yang sukses dan menjadi standar emas dalam menangani pandemi.

Dengan populasi penduduk sebanyak 23,57 juta, Taiwan hanya mencatat 2.533 kasus dengan 14 kematian.

Sementara itu, Australia yang memiliki 25 juta penduduk, mencatat 29.955 kasus dengan 910 kematian.

Namun, kenaikan kasus mulai terjadi di bulan April setelah sejumlah kasus muncul dari sebuah hotel di bandara utama internasional Taoyuan.

Aturan memang sudah dilonggarkan, dengan pilot hanya perlu menjalankan karantina selama tiga hari, bukan 14 hari.

Pada awalnya, penularan  dilaporkan terjadi di kalangan pilot, pekerja hotel dan anggota keluarga mereka.

Namun dengan kasus terus meningkat,  Menteri Kesehatan Taiwan Chen Shih-chung mendapat sorotan setelah muncul laporan media bahwa warga Taiwan boleh tinggal di hotel tempat para pilot menjalani karantina.

Dari situ, virus diperkirakan menyebar ke distrik Wanhua, kawasan wisata dan hiburan di Taipei yang memiliki banyak toko, bar dan pusat hiburan untuk orang dewasa.

Professor Chen Chien-jen, seorang pakar epidemiologi dan juga mantan wakil presiden Taiwan mengatakan kepada BBC bahwa banyak di antara mereka yang kemudian positif enggan melaporkan mereka mendatangi pusat hiburan dewasa tersebut, dan pelacakan kasus semakin sulit dilakukan.

Selain itu juga karena kehidupan yang sudah berlangsung normal selama berbulan-bulan, muncul perasaan lengah di kalangan warga.

Professor Chang-Chuan Chan dari National Taiwan University mengatakan di tahun 2021 warga di sana "tidak menyadari bahwa masih ada bahaya besar dari COVID".

Dia mengatakan bahwa penyebaran kasus terbaru di hotel bandara ini memang karena pilot yang datang hanya menjalani karantina selama tiga hari.

"Ini sudah dilihat oleh pihak berwenang sebagai celah yang harus diperbaiki," katanya.

Taiwan meningkatkan status awas corona tanggal 15 Mei, dengan pembatasan jumlah orang berkumpul dan meminta warga untuk tinggal di rumah.

Menurut Profesor Chan, lambatnya program vaksinasi juga menimbulkan kekhawatiran, apalagi karena Taiwan sampai sekarang belum bisa mendapatkan vaksin yang cukup.

Menurut Reuters, Taiwan sejauh ini baru menerima 700 ribu dosis vaksin dan hanya sekitar 1 persen warga yang sudah divaksinasi.

Kasus Singapura menyebar dari bandara

Singapura di bulan April pernah dinobatkan oleh media Bloomberg sebagai negara nomor satu di dunia untuk ditinggali semasa pandemi, melampaui peringkat pertama sebelumnya yaitu Selandia Baru.

"Negara ini sudah berhasil menangani kasus lokal hampir menjadi nol karena penutupan perbatasan, dan program karantina yang ketat, sehingga membuat warga bisa berkegiatan dengan bebas sehari-hari, bahkan bisa menghadiri konser dan naik kapal pesiar," kata Bloomberg.

Namun kemudian terjadi peningkatan kasus lewat satu lokasi yang rawan: Bandara Internasional Changi.

Diduga seorang petugas bandara mengadakan kontak dengan seorang penumpang yang berasal dari negara berisiko yang mungkin sudah positif terkena sebelum mengunjungi tempat penjualan makanan di Changi yang terbuka untuk publik.

Banyak kasus yang kemudian dikenal sebagai klaster bandara mengidap virus varian India yang dikenal dengan B.1.617.

Beberapa pekerja di bandara sudah mendapat vaksin dua kali namun masih juga positif terkena virus.

Dale Fisher, seorang pakar penyakit menular asal Australia yang bekerja di National University of Singapura mengatakan penularan yang sekarang terjadi menunjukkan betapa bahayanya varian baru virus tersebut.

Dia mengatakan bahwa beberapa orang yang sudah divaksinasi masih bisa positif bukanlah hal yang mengejutkan.

"Vaksin dibuat untuk menghindarkan kita dari gejala yang serius, bukan untuk menghentikan sepenuhnya penularan,” katanya.

Sejauh ini baru sekitar 29 persen dari lima juta penduduk Singapura yang mendapatkan vaksin dosis pertama.

Dr Fisher mengatakan tidak ada "keraguan sistemik" terhadap keinginan divaksinasi di kalangan warga di Singapura, namun memang ada yang enggan.

"Ada orang yang memang biasanya enggan dan ada juga yang mengatakan ‘saya akan menunggu saja, saya tidak mau menjadi yang pertama',” katanya.

"Sekarang dengan penularan di kalangan masyarakat, warga akan lebih terbuka untuk divaksinasi.”

Dengan dua pertiga warga Singapura belum divaksinasi dan virus masih menyebar, pemerintah tidak lagi memiliki pilihan kecuali mengharuskan warga kerja dari rumah, menutup sekolah dan gym, serta membatasi pertemuan tidak lebih dari dua orang.

Pemerintah juga mempertimbangkan untuk mengubah program vaksinasi, dengan memperpanjang masa waktu antara dosis pertama dan kedua, dan menurunkan batas minimum dari 16 menjadi 12.

Mungkinkah terjadi di Australia?

Dr Dale Fisher dari National University of Singapore mengatakan walau Australia sekarang mampu meminimalkan kasus dengan menutup perbatasan, virus corona akan tetap terjadi secara global, bahkan setelah nantinya banyak warga divaksinasi.

"Bahkan bila 70 persen penduduk dunia divaksinasi, virus akan tetap beredar, dan 30 persen yang tidak mendapat vaksinasi akan rentan mendapat gejala yang parah,” katanya.

Meski pemerintah Australia sudah mengatakan kemungkinan perbatasan internasional ditutup sampai 2021 untuk mengurangi kemungkinan penularan, Dr Fisher mengatakan diperlukan kejelasan mengenai kapan Australia akan membuka diri.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari srtikel ABC News  dalam bahasa Inggris

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement