REPUBLIKA.CO.ID, VIENNA -- Lembaga pemantau nuklir PBB (IAEA) memperpanjang kesepakatan pemantauan nuklir dengan Iran selama sebulan. Tetapi, Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi mengatakan perpanjangan kesepakatan dengan Iran tidak ideal. Usai bertemu Kepala Badan Energi Atom Iran (AEOI) Ali Akbar Salehi, Grossi mengatakan masih banyak tantangan yang perlu diatasi.
"Ini seperti perangkat darurat yang kami buat untuk dapat terus memantau aktivitas ini," kata Grossi seperti dikutip Sputnik, Selasa (25/5).
Ia menambahkan pejabat-pejabat IAEA (International Atomic Energy Agency) masih belum dapat mengakses gambar-gambar yang diambil dari dalam fasilitas nuklir Iran. Perpanjangan kesepakatan ini dilakukan setelah kesepakatan yang disepakati selama tiga bukan berakhir.
Grossi ditanya mengenai peristiwa yang mungkin terungkap usai perpanjangan kesepakatan berakhir. Ia menjawab pejabat-pejabat IAEA akan mengatasi situasi yang akan datang.
Dalam kesempatan itu IAEA juga membahas mengenai pemilihan presiden Iran yang akan datang. Sejumlah pengamat menilai kelompok garis keras akan menggantikan pemerintahan Presiden Hassan Rouhani yang lebih moderat.
"Kami menghadapi Iran dan rakyat Iran akan memberi diri mereka sendiri pemerintah baru dalam pemilihan yang akan datang, saya tidak khawatir dan saya yakin apa pun yang akan datang tentu akan bekerja sama dengan IAEA," kata Grossi.
"Saya pikir ini kepentingan semua orang," tambahnya.
Perwakilan Iran untuk IAEA Kazim Gharibabadi mengumumkan perpanjangan kesepakatan ini di Twitter. Ia meminta peserta perundingan di Wina untuk 'memanfaatkan kepercayaan yang diberikan Iran untuk sepenuhnya mencabut sanksi-sanksi dalam perilaku yang dapat diverifikasi dan praktis'.
Dengan diperpanjangnya kesepakatan ini maka IAEA memiliki akses untuk mengumpulkan data dari situs nuklir Iran hingga 24 Juni. Gharibabadi mengatakan sampai tanggal tersebut data-data itu akan disimpan oleh AEOI.