REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO - Presiden sementara dan Perdana Menteri (PM) Mali mengundurkan diri pada Rabu (26/5) waktu setempat. Pengunduran diri dilakukan setelah keduanya ditangkap oleh militer dua hari sebelumnya.
"Presiden dan perdana menterinya telah mengundurkan diri. Negosiasi sedang berlangsung untuk pembebasan mereka dan pembentukan pemerintahan baru," kata Baba Cisse, seorang ajudan Wakil Presiden Assimi Goita dalam komentar yang dikirim oleh militer kepada Reuters.
Cisse mengatakan, bahwa kedua pemimpin akan dibebaskan, tetapi tidak segera karena pertimbangan keamanan. Pengunduran diri mereka bertepatan dengan kunjungan delegasi Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) untuk menekan militer agar mundur.
Pada Senin (24/5) lalu, Presiden Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane dibawa ke pangkalan militer di luar ibu kota dalam kudeta kedua oleh militer. Sebelumnya, presiden dan pm melakukan perombakan Kabinet yang menandai dua perwira kehilangan jabatan mereka.
Intervensi yang dipimpin oleh Wakil Presiden Assimi Goita telah membahayakan transisi Mali kembali ke demokrasi setelah kudeta pada Agustus tahun lalu menggulingkan mantan Presiden Ibrahim Boubacar Keita. Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan kecaman internasional di tengah kekhawatiran krisis politik di Bamako yang bakal mempengaruhi keamanan regional.
Goita yang merupakan seorang kolonel, juga mengatur kudeta tahun lalu. Dia berjanji bahwa pemilu yang direncanakan tahun depan akan berjalan. Goita telah membela tindakannya. Menurutnya, presiden dan perdana menteri telah melanggar piagam transisi dengan tidak berkonsultasi dengannya tentang Kabinet baru. Dia juga menuduh pemerintah salah menangani ketegangan sosial di Mali, termasuk pemogokan oleh serikat utama.
Dewan Keamanan PBB sudah bertemu secara pribadi pada Rabu di Mali. Dalam sebuah pernyataan, pihak Dewan Keamanan menyerukan pembebasan yang aman, segera dan tanpa syarat dari semua pejabat yang ditahan.
"Perubahan kepemimpinan transisi dengan kekerasan, termasuk melalui pengunduran diri secara paksa, tidak dapat diterima," tegas Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara.
Prancis, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS) mengancam akan menjatuhkan sanksi. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut krisis politik di Mali sebagai "kudeta dalam kudeta".
Pada Rabu, Departemen Luar Negeri AS menangguhkan bantuan untuk pasukan keamanan dan pertahanan Mali. AS menyerukan pembebasan para tahanan dan dimulainya kembali transisi yang dipimpin sipil.
Delegasi ECOWAS yang dipimpin oleh mantan Presiden Nigeria Goodluck Jonathan, juga telah meningkatkan kemungkinan sanksi terhadap perwira yang bertanggung jawab atas pengambilalihan tersebut. Namun belum jelas apakah ECOWAS akan puas dengan presiden dan perdana menteri pengganti, atau apakah akan bersikeras agar Ndaw dan Ouane dipekerjakan kembali. ECOWAS dan kekuatan lain menginginkan transisi yang dipimpin oleh sipil ke demokrasi terus berlanjut.
ECOWAS memberlakukan sanksi, termasuk penutupan perbatasan di Mali setelah kudeta pada Agustus sebelum mencabutnya ketika junta Goita menyetujui transisi yang dipimpin sipil selama 18 bulan. Tetangga Mali dan kekuatan internasional khawatir krisis itu dapat semakin mengguncang negara yang telah digunakan oleh kelompok-kelompok Islam yang terkait dengan al-Qaidah dan ISIS sebagai landasan peluncuran serangan di seluruh wilayah.