REPUBLIKA.CO.ID, ONTARIO -- Seorang penyintas sekolah asrama di Kanada mendesak keadilan bagi semua anak. Dia mengutip ratusan kuburan anak-anak yang tidak bertanda di taman bekas sekolah katolik di dua provinsi di negara itu, yang menurutnya bisa menjadi peristiwa genosida.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Geronimo Henry, 84 tahun, mengenang masa-masanya di sekolah asrama Mohawk Institute di kota Brantford, Ontario, dan dia mengatakan, "Saya menghabiskan 11 tahun di sini di sekolah asrama dari tahun 1942 hingga 1953."
Henry, seorang anggota masyarakat adat Six Nations, mengatakan bahwa dia berusia enam tahun ketika dia dibawa ke sekolah tersebut dan sampai dia pergi dari sana pada usia 17 tahun. Saudara laki-laki dan dua saudara perempuannya juga dimasukkan ke sekolah tersebut.
Dia mengatakan saudaranya menemukan cara untuk melarikan diri dari sekolah dan tidak pernah kembali. Dia juga tidak dapat melihat kedua saudara perempuannya meskipun berada di sekolah yang sama.
Di Kanada, 139 sekolah asrama, yang dikelola oleh Gereja Katolik pada tahun 1800-an, didanai pemerintah Kanada dan yang terakhir ditutup pada tahun 1997, menjadi tempat di mana lebih dari 150.000 anak-anak pribumi di negara itu diambil secara paksa dari keluarga mereka selama masa perang.
Sekolah asrama Mohawk Institute, yang dibuka pada 1831 oleh Gereja Katolik, adalah salah satu yang terbesar di negara ini. Sekolah itu ditutup pada tahun 1970 dan bangunan utamanya tetap ditutup untuk pekerjaan renovasi.
Sekolah ini telah menjadi pusat budaya sejak tahun 1972 yang didalamnya terdapat tiga galeri seni, museum sejarah, dan perpustakaan di gedung yang dibangun kemudian.
'Sekolah dibuka untuk kumpulkan anak-anak pribumi'
Menyoroti 139 sekolah asrama di negara itu dibuka untuk mengumpulkan anak-anak pribumi, Henry mengatakan hanya karena kebangsaan mereka atau hanya karena bahasa dan budaya mereka, mereka mengambilnya dari orang tuanya dan kepercayaannya.
Keluarga saya tidak percaya pada gereja, kata Henry, menambahkan bahwa sebagai penduduk asli mereka memiliki kepercayaan mereka sendiri.
“Sama seperti, katakanlah Anda pergi ke Afrika, mereka memiliki kepercayaan mereka sendiri,” kata dia.